Dalam Webinar Winners in Pandemic, Kardinal Suharyo: Optimisme dan Harapan itu Beda
Untuk memperingati ulang tahun ke-45 Pembaruan Karismatik Katolik (PKK) di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) tahun ini dan untuk menyuntikkan semangat pantang menyerah di dalam diri umat Katolik, BPK PKK KAJ menggelar Webinar bertajuk The Untold Story Winners in Pandemics pada 8 Mei 2021.
Webinar yang ditayangkan melalui aplikasi zoom ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Kardinal Ignatius Suharyo (Uskup Agung Jakarta), Mari Elka Pangestu (Managing Director of Development Policy and Partnership World Bank) dan Bernadette Ruth Irawati Setiady (Chairwomen of PT Kalbe Farma Tbk). Webinar ini dipandu oleh Christiano Reynaldo.
Pada kesempatan ini, Uskup Suharyo mengingatkan audiens untuk di dalam masa pandemi ini tetap menggerakkan daya kreasi sehingga tetap bisa membantu sesama.
Dalam kaitan dengan pemikiran-pemikiran atau refleksi teologis, menurut Uskup refleksi teologi apa pun harus mendarat dan memiliki manfaat untuk publik. “Kalau para ahli Teologi membuat diktat atau buku Teologi, ada akibat atau manfaat gak bagi kebaikan bersama? Kalau kita bicara tentang Tritunggal Mahakudus, sebetulnya kita bicara tentang Allah Mahakasih. Itu intinya. Kalau sudah sampai ke sini, menjadi konkret dan tidak sulit”.
Uskup lalu memberi contoh tentang Teologi Publik dari pengalamannya sewaktu kecil. Saat itu, ibunya mengajarinya sebuah lagu yang sangat bermakna tentang seorang pengemis yang lapar. Sang anak melihat di luar ada pengemis yang datang, lalu melaporkan. Sang ibu menyiapkan makanan berupa nasi, lauk dan air lalu menyuruh anaknya memberikan kepada pengemis itu dengan pesan agar sang anak menyuruh pengemis itu datang setiap hari Minggu. “Ini kan konkret. Kalau bicara tentang Tritunggal ini perdebatan yang tidak ada ujung karena tidak ada yang negerti kan?” kata Kardinal retoris.
Di tahun kedua pandemi ini, Uskup menyampaikan keyakinan. Kalau mendengar kata harapan, itu adalah bahasa iman. Harapan itu tidak sama dengan optimisme. “Optimisme menurut rasa bahasa saya, pertimbangan-pertimbangannya manusiawi. Contoh: saya yakin bahwa kalau kinerja KPK begini terus, maka lima tahun mendatang tidak ada korupsi. Itu optimisme. Lalu, kalau pada lima tahun mendatang korupsi tetap saja, maka optimisme itu hilang, berganti pesimisme.
Harapan itu lain. Landasannya adalah iman. Dasarnya, “Allah yang telah memulai karya yang baik, akan menyelesaikannya juga.” Itu artinya, ada harapan, entah kapan akan jadi kenyataan. Nah! Harapan atas dasar iman menjauhkan orang dari putus asa. “Kalau saya tidak berhasil, tidak berarti Allah gagal. Allah akan menyelesaikannya. Dan kalau saya berhasil, saya tidak sombong karena Allah yang telah memulai. Ia yang menyelesaikan,” urai Kardinal.
Berdasarkan prinsip tersebut lanjut Kardinal, entah menghadapi apa pun seperti pandemi, yang diperlukan adalah harapan. “Dengan harapan itu, kita bisa bekerja keras mencari jalan kreatif sehingga Allah yang memulai karya yang baik itu semakin tampak,” tambah Kardinal lagi.
Sementara itu, Mari Elka pangestu membagikan pengalaman dan pergumulannya selama bekerja di Bank Dunia selama satu tahun lebih. Dia mengamati bahwa terjadi persaingan yang luar biasa antara Tiongkok dan Amerika. Dan dalam persaingan ini, kata Mari, kita harus berteman dengan keduanya sambil membawa inspirasi.
Tambah Mari, selama masa pandemi ini tidak ada magic formula untuk mengatasi situasi, tapi bagaimana menjaga kesehatan secara fisik maupun mental. Itu yang membuat orang kuat.
Bernadette Ruth Irawati Setiady atau yang biasa disapa Ira juga berbagi bagaimana menerapkan cara-cara kreatif dan menusiawi dalam mengelola perusahaannya. Dia mengingatkan bahwa setiap perusahaan didirikan untuk mendapatkan profit, tapi jauh dari itu untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Menurut Ira, perusahaan harus selalu mengingat visi dan misi perusahaan didirikan. Hal inilah yang selalu menyertai langkah perusahaan farmasi yang telah merambah ke berbagai negara ini. (SHA/01)