Taufik Hidayat: Paus Fransiskus Sungguh-sungguh Konkretkan Ajarannya
Setelah terpilih menjadi Paus, Paus Benediktus menerbitkan tulisannya Pintu Iman atau Porta Fiedei. Diajarkan di situ bahwa setelah dibaptis, kita seperti masuk dalam padang gurun pencobaan. Gereja memang tidak pernah menjanjikan sesuatu yang mulus. Hidup bukan tanpa masalah.
Paus Fransikus kemudian muncul dengan imbauan apostoliknya Sukacita Injil atau Evangelii Gaudium. Di situ Paus Fransiskus mengatakan bahwa ”Waktu jauh lebih berharga daripada ruang”. Dan itu saya ingat dia selalu ulang-ulang. Dalam lima atau enam bukunya, dia selalu mengulang kata-kata itu. Saya lalu berpikir, untuk sebuah pencapaian, yang penting prosesnya, bukan hasil akhir.
Tulisan-tulisan Paus Fransiskus menguatkan saya. Semula saya merasa tidak mampu memimpin Perhimpunan Vincentius Jakarta (PVJ) ini dengan segala keterbatasan saya. Saya mulai menghindar supaya jangan terpilih memimpin PVJ ini. Lalu, gak apa yang terjadi, tahun 2016 ada World Youth Day (WYD) di Krakow. Beberapa anak muda yang pernah ikut WYD di Brasil dan Australia, datangi pimpinan panti dan saya. Mereka sampaikan mau mengajak anak-anak panti untuk ikut WYD di Polandia. Kami memang punya uang, tapi bukan untuk itu. Apa kata mereka? ”Jangan pikir uang, yang terpenting bapak-bapak mengizinkan anak-anak untuk ikut. Kami minta 12 anak. Pokoknya, kami yang akan handel semuanya.”.
Saya langsung katakan, kalau anak-anak bisa pergi, saya akan pergi mendampingi mereka. Luar biasa! At the last minute baru tercapai. Juli sudah harus berangkat, kami baru sapat kepastian bulan Mei bahwa uang transport anak-anak sudah tersedia.
Ternyata urus visa Polandia itu tidak mudah. Perlu waktu dua bulan. Saya pikir gak akan berangkat. Anak-anak muda itu gesit. Mereka ke Kedutaan Polandia dan mengatakan bahwa ada 12 anak panti yang mau ikut ke WYD sambil menunjukkan video penampilan mereka untuk bisa tampil di WYD. Ternyata, khusus untuk anak-anak panti dibuka pengurusan visa itu. Disuruh datang esoknya untuk interview. Kalau ikut jadwal normal, masih minggu depannya. Itu artinya gak bisa lagi. Langsung keluar visanya.
Di situ saya mengalami, ”tiba-tiba” saya mendapat evangelisasi dari anak-anak muda itu soal keyakinan dan keberanian. Akhirnya, kami berangkat terpisah karena saya mau menggunakan kesempatan untuk mengenal Santo Vincentius. Saya mampir ke Roma dulu karena waktu itu tahun Kerahiman Ilahi. Saya berziarah ke 9 gereja di Roma. Dari situ saya ke Paris karena di situ ada makam Santo Vincentius. Makamnya semacam kapel kecil milik Romo-romo CM. Saya berdoa: ”Andai saya harus memimpin organisasi yang menggunakan namamu sebagai pelindung.”
Di situ saya mendengar semacam suara lirih sekali ”Kuduskan dirimu”. Saya sampai kaget. Ini ungkapan yang mendalam. Kalau kita melakukan sesuatu dengan niat baik, pasti segala sesuatu akan mengalir dalam pimpinan Tuhan sendiri.
Begitu saya turun di lantai 1, ada seorang ibu, tiba-tiba menawari saya satu medali ”Maria Medali”. Di seberang, depan kapel itu merupakan tempat Bunda Maria menampakkan diri. Dia bicara dalam Bahasa Prancis sambil menyodorkan medali itu. Di saat saya keluarkan dompet untuk membayar, dia katakan No. Ini buat kamu. Lalu saya katakan, oke ini untuk saya. Saya mau beli lagi untuk teman-teman kantor. Dia katakan, tidak ada. Ini satu-satunya.
Jadi saya merasa, Tuhan pimpin saya. Harus seperti anak-anak muda itu yang tidak ragu memberangkatkan anak-anak itu. Begitu pulang, saya menerima tugas saya selama 8 tahun. Moga-moga semuanya lancar. 9 bulan lagi saya bertugas, tapi saya percaya kita berproses dalam segala sesuatu. Ada keberhasilan dan kegagalan.
Jalan kaki 25 Kilo Meter
Pada waktu di Crakow, karena kami agak terlambat menyatakan kehadiran kepada panitia, kami dapat tempat jauh. WYD itu dihadiri 1 juta orang. Kami tinggal 50 km dari lokasi, di suatu paroki. Kereta berhenti 25 kilo sebelum tempat acara. Kami harus jalan kaki 25 km ke tempat Paus pimpin Misa. Itu pengalaman yang luar biasa. Kami pun tidak bisa melihat paus dari dekat. Saya lalu bertanya dalam hati, ”Kapan bisa bertemu Paus…” Tiga tahun kemudian Tuhan jawab.
Bagi saya Paus ini memiliki visi kenabian yang sangat kuat. Tahun Kerahiman 2016 itu bukan suatu kebetulan. Memang dimaksudkan untuk memperingati 50 tahun Konsili Vatikan II, tapi bagi saya, ini suatu pertanda Paus mendapat dorongan supaya umat siap menghadapi peristriwa (Covid-19). Papa Mama saya meninggal saat Covid-19 itu. 30 hari setelah Papa meninggal, Mami meninggal juga karena Covid. Di situ saya merenungkan kembali, bahwa betul tahun 2016 itu merupakan kesempatan untuk kita semua menimba kekuatan, menerima kerahiman ilahi, pertobatan. Ini luar biasa. Kita dipersiapkan.
Dari situ Paus Fransiskus menulis Fratelli Tutti. Dia mau orang saling menolong, dia terus meng-encourage persaudaraan antar umat beragama, bertemu dengan Imam Agung Al-Azhar. Dan itu perayaan yang mendorong kita memberi kasih satu sama lain tanpa memandang agama lagi. Agama kita memang berbeda-beda, tapi kita memiliki nilai-nilai kebenaran yang sama-sama yang bisa diperjuangkan bersama-sama tanpa melihat perbedaan lagi. Dogma pasti tidak bisa dipersatukan, tapi persamaan pada saat menghadapi peristiwa-peristiwa, bisa menyatukan kembali umat manusia yang tercerai-berai.
Bagi saya, Paus ini bukan hanya sebagai guru (salah satu dari Tritugas: Raja, Imam dan Nabi), tapi dia adalah pengajar evangelisasi yang betul-betul mengonkretkan ajarannya dalam kehidupan nyata. Tidak hanya berteori seperti dikatakan dalam buku-bukunya tapi ada aksi nyata. Kalau seorang Katolik sudah nyaman dengan situasinya saat ini, ada sesuatu yang salah. Artinya, dia belum pergi keluar menemui orang-orang yang pasti membutuhkan uluran tangannya. Dan di situ Paus kita melakukan hal semacam itu.
Karya penebusan itu bukan hanya untuk orang suci, tapi juga untuk orang-orang yang berdosa, yang beragama apa pun. Setiap orang layak untuk menerima karya penebusan Tuhan. Dan setahu saya, dia cukup mengagumi Indonesia sebagai negara yang punya keberagaman agama, budaya tapi tetap bersatu. Itu alasannya Kardinal Suharyo mendapat kepercayaan menjadi penasihat Paus dalam toleransi beragama.
Semoga dengan kehadirannya, orang semakin memahami bahwa tujuan Yesus datang ke dunia bukan sekadar tujuan sempit menjalankan agama tertentu atau memaksakan agama tertentu, tapi untuk rencana keselamatan bagi semua.
(Berdasarkan wawancara Emanuel Dapa Loka dengan Taufik Hidayat, Ketua Perhimpunan Vincentius Jakarta)