SATU RASA

January 6, 2021

Oleh Romo Albertus Herwanta, O. Carm


Kasih sejati yang mengalir dari Allah menyatukan. Bukan hanya menyatukan manusia dengan sesamanya, melainkan menyatukan dengan Tuhan. “Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita” (1 Yoh 4: 12). Kasih kepada sesama menjadi jalan dan wujud nyata persatuan dengan Tuhan.

Persatuan itu lahir dari pengalaman satu rasa dan memuncak di sana pula. Sang Guru Kehidupan sedang berdoa di tempat sunyi tatkala perahu para murid-Nya ditimbus gelombang di tengah danau. Namun Dia melihat mereka. “Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka” (Mrk 6: 48).

Itulah bentuk satu rasa. Kendati jauh secara jarak, dekat dalam hati. Dia merasakan yang dialami oleh para murid-Nya. Tidak berhenti di situ. Dia datang dan menolong mereka (Mrk 6: 49).

Apa reaksi mereka? Berteriak ketakutan, karena mengira melihat hantu. Mengapa demikian? Karena mereka belum satu rasa dengan Sang Guru. Mereka masih belajar mengenal. Belum sungguh percaya, meski sudah mengalami mukjizat pergandaan roti; apalagi mencintai.

Beragama belum tentu menjamin orang sungguh percaya kepada Tuhan, karena beragama berbeda dari beriman. Apalagi ketika motivasi menganut agama itu lebih diwarnai kepentingan ekonomi, politik dan hal duniawi. Di satu sisi orang beragama, di sisi lain menggantungkan diri pada harta, kuasa, tahta dan hal-hal yang ditawarkan dunia.

Dalam situasi demikian Tuhan lebih ditakuti atau dicurigai daripada dicintai dan dipercayai. Mereka yang belum sungguh mencintai, dalam relasinya sering dikuasai rasa takut. Benar, kata Santo Yohanes, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih” (1 Yoh 4: 18).

Tuhan selalu satu rasa dengan manusia. Dia tidak pernah berhenti mencintai manusia, karena Dia pada hakikatnya adalah kasih. Berbeda dari manusia yang masih perlu terus belajar mengasihi Dia. Untuk sungguh mencintai-Nya, lebih dahulu manusia perlu percaya. Artinya, tidak takut kepada-Nya.

Semua itu dapat dipelajari dalam situasi hidup, khususnya di tengah goncangan seperti perahu para murid di tengah danau. Sayang, banyak orang justru kehilangan iman dan kasihnya kepada Tuhan saat menghadapi kesulitan hidupnya. Mereka merasa bahwa Tuhan itu jauh dan tidak peduli. Tidak mengasihi. Dari sisi manusia, sikap itu, bisa jadi, salah satu tanda dari absennya satu rasa.

Shek O HK, 6 Januari 2021
RP Albertus Herwanta, O. Carm.