PERSAUDARAAN SEJATI
Romo Albertus Herwanta, O. Carm
Orang disebut saudara karena pelbagai dasar atau alasan. Yang dilahirkan dari orang tua yang sama disebut saudara sedarah dan sedaging. Ada pula yang diberi predikat saudara, karena memiliki ciri etnis atau suku yang sama. Para warga negara bisa pula dijuluki saudara (sebangsa dan setanah air).
Semua bentuk persaudaraan di atas bersifat sementara, karena dasar persaudaraannya dibuat oleh manusia. Ikatan persaudaraan itu bisa selesai ketika hidupnya berakhir.
Ada ikatan persaudaraan yang bersifat abadi. Dibangun di atas dasar kehendak Tuhan. Artinya, siapa pun yang memenuhi kehendak itu layak disebut saudara. Hal itu diajarkan oleh Sang Guru Kehidupan.
Tatkala Dia sedang mengajar di suatu rumah dan orang banyak mengerumuninya, ada orang yang memberitahu bahwa ibu dan saudara-Nya ada di luar dan ingin bertemu dengan Dia. Namun Dia bertanya, “Siapakah ibu dan saudara-saudara-Ku?” (Mrk 3: 33).
Dia menjawabnya sendiri, “Inilah ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku. Barang siapa melakukan kehendak Bapa-Ku, dialah saudara, saudari dan ibu-Ku” (Mrk 3: 35). Dengan itu Dia membangun persaudaraan sejati dan abadi.
Pertanyaannya, apakah kehendak Tuhan itu? Secara jelas kehendak-Nya diringkas dalam perintah utama, yakni mencintai Allah dan sesama (Mat 22: 37-39). Mereka yang melaksanakan hukum itu, siapa pun, tanpa dilihat ikatan darah, etnis, suku, agama dan warga negaranya adalah saudara.
Persaudaraan ini bersifat terbuka. Artinya, berlaku untuk siapa saja. Juga tetap dan selamanya. Dalam alam abadi pun mereka tetap bersaudara. Di sana mereka berada dalam keluarga Allah, karena disatukan dalam persaudaraan sejati.
Shek O HK, 26 Januari 2021, pada Peringatan Santo Titus dan Timotius