Pentingnya Memahami yang Kita Imani, Natal: Lahir dari Keilahian
Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Teolog Karl Barth sedang mengajar di depan mahasiswanya di salah satu Fakultas di Universitas Princeton pada tahun 1963. Seorang mahasiswa bertanya: Tuan, apakah anda berpikir bahwa Allah menyatakan diri-Nya tidak hanya kepada agama Kristen melainkan kepada agama lain juga? Karl Barth menjawab: “Tidak. Allah tidak menyatakan diri-Nya kepada agama apa pun termasuk agama Kristiani. Dia telah menyatakan diri-Nya dalam Putera-Nya.” Jawaban ini membuat para mahasiswanya kaget dan terpesona.
Di ruang publik saat ini beredar macam-macam diskusi, pertanyaan sekaligus sindiran: mengapa orang Kristen “mengangkat” manusia menjadi Tuhan. Pertanyaan semacam ini tidak perlu membuat kaget karena sejak awal Gereja abad-abad pertama hal yang serupa sudah ditanyakan. Aliran Gnostik tertentu adalah contoh yang paling jelas. Aliran semacam ini yang menyangkal realitas (atau kemungkinan) dari Inkarnasi Ilahi. Menurut aliran ini realitas fisik Yesus hanyalah “penampilan” atau “faade,” dan tidak melekat pada siapa dan apa Yesus itu. Jika Yesus sungguh ilahi, maka Dia pasti hanya nampak fisiknya. Jika Dia sungguh-sungguh manusia, maka pasti tidak ilahi. Dia hanyalah “makhluk super”, atau manusia teladan yang kemudian “diangkat” oleh Tuhan.
Pertanyaan atau perdebatan semacam ini di dunia modern ini membuat orang Kristen merasa tersinggung. Kadang berakhir dengan protes, kadang dengan proses hukum, tapi lebih banyak dengan diam sambil menggerutu atau memaki-maki dalam hati: urusan apa kalian dengan agama kami?
Sesungguhnya ini bukan salah yang bertanya. Mereka bertanya karena tidak paham. Yang lebih penting adalah bagaimana menjawabnya secara rasional dan tenang. Itulah pentingnya mengenal dan memahami apa yang kita imani.
Bagi saya, tidak ada jawaban yang jauh lebih tepat tentang keilahian Yesus selain bacaan Injil yang kita dengarkan pada Hari Raya Natal ini, Yoh 1:1-18.
Secara logika, Natal tidak terlepas dari silsilah atau garis keturunan. Hal ini dijawab oleh Injil Matius dan Lukas. Silsilah injil Matius tentang Yesus mundur jauh sampai ke Abraham, bapa umat Allah. Silsilah injil Lukas tentang nenek moyang Yesus ditarik jauh sampai ke Adam, dengan demikian mencakup seluruh umat manusia.
Akan tetapi silsilah versi Yohanes berbeda. Dia mengisahkan tentang Yesus kembali ke Allah sendiri, mulai dari awal penciptaan. Yohanes adalah satu-satunya penulis Injil yang tidak berhenti di Betlehem untuk menjelaskan alasan hadirnya Allah dalam diri Yesus.
Nampaknya Yohanes lebih peduli dengan mengapa dan siapa Natal daripada mana Natal. Dia melakukan perjalanan merenung ke keabadian untuk mengungkapkan Pribadi Yesus Kristus. Natal versi Yohanes lebih bersifat teologis ketimbang historis versi Matius dan Lukas.
“Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita” (Yoh 1,14).
Bila dikaitkan dengan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, maka kita bisa menemukan identitas Mesias: Dia lahir dari keabadian dan mempunyai status ilahi.
“Berfirmanlah Allah: ‘Jadilah terang’. Lalu terang itu jadi.” (Kej 1:2). Yang pertama kali keluar dari Allah adalah Firman. Dan Firman itu tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan dari yang berifirman. Allah dan Firman merupakan satu kesatuan.
Kesatuan inilah yang dimaksud oleh Yesus ketika Dia mengatakan: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh 17:21).
Bacaan Injil hari ini memberi tahu kita bahwa Bayi di dalam palungan adalah Firman Tuhan, ekspresi diri Tuhan. Dia hadir pada saat penciptaan; Dia sebenarnya adalah Dia yang melaluinya segala sesuatu diciptakan.
Prolog Injil Yohanes dan prolog Surat kepada Ibrani dalam bacaan kedua adalah penegasan yang luar biasa dari Pribadi Yesus Kristus, diungkapkan dalam kata-kata teologis dan metafora yang indah.
Salah satu Bapa Gereja (St. Irenaeus) pernah berkata, “Gloria Dei, homo vivens,” (Kemuliaan Allah adalah pribadi yang sepenuhnya hidup”).
Surat Ibrani memberitahu kita bagaimana Tuhan yang menyampaikan firman-Nya kepada kita di masa lalu melalui para nabi-Nya telah mengutus Anak-Nya sendiri sehingga Dia dapat menunjukkan kepada kita manusia, melalui hidup, kematian dan kebangkitan-Nya, sifat sejati dari Tuhan kita.
Sifat Firman yang menjadi Manusia adalah sebagai terang. Persis itulah yang dijadikan Allah pada awal peciptaan, yakni menjadikan terang. Yohanes memperkenalkan kelahiran Yesus sebagai Fajar Terang yang akan menghapus kegelapan kejahatan dari dunia. Terang lalu menjadi simbol sempurna dari Natal karena kata-kata Yesus sendiri; “Akulah Terang dunia,” (Yoh 8:12) dan “Kamu adalah terang dunia” (Mat 5:14-16).
Merayakan Natal berarti mengambil salah satu sifat dari Kristus, yakni menjadi terang. Menjadi terang bukan saja menerangi orang atau lingkungan sekitar, tetapi membuat kita juga terlihat.
Identitas Kristen kita, betapa pun berat dan menyakitkan, bukan untuk disembunyikan melainkan agar dilihat orang lain, termasuk mereka yang tidak setuju dengan kita. Kelahiran Yesus, sekalipun hanya seorang bayi, tidak membuat Herodes dan Para Imam kepala menerima Dia. Bertahan dalam iman dan terus menjadi Terang akan membawa kita pada jalan Yesus, yakni jalan kemuliaan.
Salam Damai Natal dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba “tanpa wa”).