Pastor Gregorius Nasionus Karel Tola, O.Carm: Tuhan Memveto Saya jadi ImamNya
Pastor Karel, demikian Pastor Paroki Stella Maris Sungai danau, Keuskupan Banjarmasin ini biasa disapa. Dia mengaku sangat mencintai panggilannya menjadi imam, meski pernah mengalami “krisis berat”. Imam asal Paroki Salib Suci Mauloo, Flores untuk “dijadikan” imam, Tuhan tidak pernah meminta persetujuannya. Apa maksudnya? Mengapa provinsialnya membatalkan niat menyuruhnya pindah ke Projo? Dulu dia tidak suka Karismatik, tapi sekarang bergabung. Mengapa? Temukan jawaban atas semua pertanyaan tersebut dalam kesaksian berikut:
Pada usia satu tahun pertama, saya sakit keras selama satu tahun itu. Sakit aneh. Demam, muntah-muntah lalu “meninggal”, tapi setelah 2-3 jam hidup lagi. Mungkin ini yang disebut mati suri. Ini terjadi berkali-kali dalam satu tahun itu.
Kedua orang tua saya sangat resah. Akhirnya mereka menghadap Pastor Ignatius Widodo, OCarm di Paga. Sang Pastor mengajak berdoa dan bertanya kepada Bunda Maria Karmel. Orang tua saya kira-kira berdoa begini: Tuhan Yesus dan Bunda Maria, kami bersyukur dianugerahi anak dengan segala keadaannya. Namun karena kenyataan sakit yang ia alami, jika Engkau mau panggil, ya panggil saja. Tapi kalau Engkau punya maksud tertentu, mau jadikan dia imam Carmelit kelak, silakan.
Lalu Pastor memberi segelas air sambil berkata, “Kalau dia minum, berarti dia hidup. Kalau dia tidak minum, berarti sebentar lagi dia pergi.”
Ternyata saya minum sampai habis. Dan besoknya mulai sehat, tidak sakit-sakit lagi. Tapi waktu saya disekolahkan di SD Inpres, saya sakit dan tidak bisa sekolah. Tiap hari sakit demam dan pernah pingsan. Anehnya, setelah dipindahkan ke SD Katolik, sehat-sehat saja.
Kalau saya refleksikan, kelihatan Tuhan memanggil saya sejak kecil itu, dan saya tidak punya pilihan lain. Andai Tuhan bertanya kepada saya “apakah mau jadi imam” setelah saya dewasa, pasti saya menghindar. Terlalu berat, sangat sulit jadi romo.
Secara pribadi, saya tidak pernah merasa Tuhan meminta persetujuan saya. Dia sudah langsung memveto. Hanya jadi imam, dan tidak ada pilihan lain. Tuhan sudah mematok!
Ketika saya kelas 3 SMA Seminari Mataloko, saya sempat terpengaruh teman-teman, dan ingin keluar saja, padahal itu saya sudah mengajukan lamaran ke Karmel dan sudah diterima. Waktu tamat SMP pun, saya sudah tidak mau lanjut ke Seminari Menengah. Saya ingin melanjutkan ke SMA Syuradikara, karena teman akrab saya Samuel ke Syuradikara. Tetapi Samuel dan teman-teman menasihati saya supaya masuk Seminari. “Yang kami tahu, kamu itu mau masuk seminari. Jadi jangan ikut kami. Kami dukung kau jadi imam. Kami tidak setuju kau ikut kami,” kata mereka kompak. Mereka mati-matian dukung saya. Nah ini saya lihat cara Tuhan, menguatkan panggilan.
Ketika akan berangkat untuk masuk Karmel, karena macam-macam hal, tepat saat harus berangkat, saya belum beli tiket. Om saya katakan, kamu pergi ke pantai. Tadi malam saya mimpi. Di sana ada orang yang tidak jadi berangkat besok. Dia bingung jual tiketnya. Mungkin Tuhan nunjukin tiket itu untuk kamu. Saya pergi ke sana. Benar! Di depan pelabuhan seseorang sedang bingung mau jual tiketnya. Saya dapatkan tiket itu dan akhirnya saya berangkat. Kalau bukan karena kuasa Tuhan dari mana lagi ini?
Diusulkan Pindah ke Projo
Di Malang, karena sifat saya yang ramai, sementara teman-teman dari Jawa lebih suka tenang dan hening, pastor pendamping rekomendasikan saya untuk pindah ke Projo. Lalu saya katakan, Pastor saja yang buatkan rekomendasi, jangan saya yang pilih. Silahkan kalau Pastor bisa melakukannya, sambil menceritakan kisah hidup dan panggilan saya yang sejak awal seperti sudah diatur untuk jadi imam Karmelit. Saya katakan, sebenarnya, saya pun tidak mau di Karmel ini. Kalau Pastor yang putuskan, kelak saya bisa jawab saat ditanya Tuhan Yesus. Kalau Pastor putuskan hari ini, hari ini juga saya pergi. Dia lalu rapat dengan Provinsial. Provinsial katakan, “Sudah lanjutkan saja. Kita jangan melawan kehendak Allah.”
Dukungan Penuh Orang Tua
Mencermati kisah yang menyertai saya, orang tua benar-benar mendorong penuh, bahkan mendesak saya agar mengarahkan perhatian sepenuhnya untuk jadi imam. Sejak kecil mereka selalu ajak saya berdoa dan ingatkan untuk jadi imam. Semacam “didoktrin” bahwa hidup saya hanya jadi imam. Mereka juga berdoa tiap hari. Jam 4 pagi mereka sudah bangun, sebelum ke kebun, mereka berdoa untuk anak-anak, khususnya saya. Saya masih ingat, mereka selalu menyanyikan lagu Maria dalam bahasa daerah.
Ketika saya datang libur dari Seminari misalnya, saya tidak boleh pergi ke tempat lain kecuali ke pastoran dan gereja. Mereka betul-betul berusaha menjaga panggilan saya.
Singkat cerita, setelah melalui aneka tahap formatio, akhirnya saya ditahbiskan menjadi imam dengan motto dari Mazmur 22:11 “KepadaMu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku.”
Masa Krisis Berat
Dalam menjalani hidup imamat, saya sempat krisis. Pada umur 40 tahun (2009), saya sempat krisis panggilan yang menurut saya cukup hebat. Kehidupan terasa hampa. Bayangkan, saya sempat malas berdoa, misa pun tidak. Mau keluar saja. Rasa tertarik pada wanita juga sudah mulai muncul, sebelumnya tidak pernah. Di situlah saya berjuang setengah mati. Yang jelas, saya tetap ingat bahwa saya tidak punya pilihan lain selain jadi imam.
Saya lalu ikut retret. Dalam retret seperti ada suara yang mengatakan, “Kamu akan mati di luar. Kamu harus tetap jadi imam.” Puji Tuhan, saya kemudian melewati masa sulit itu dengan gemilang. Tidak main-main, masa krisis itu berlangsung dua tahun.
Pada ujung krisis itu, saya lakukan pembaruan hidup. Saya kembali pada pentingnya berdoa, merayakan Misa, wartakan Injil, Kitab Suci bagi seorang imam. Sampai sekarang, kalau nggak misa sehari, saya gelisah setengah mati. Sekarang ini, saya bahkan bisa melihat Yesus ketika memecahkan tubuh Kristus. Ketika saya angkat hosti dan anggur yang sudah dikonsekrasi, masih biasa saja. Namun, ketika saya memecahkan tubuh Kristus pada saat “Anak Domba Allah”, Dia memperlihatkan diri. Demi Tuhan. Dan ini terjadi setiap kali Misa.
Ah! Apa Itu Karismatik!
Dulu, saya termasuk orang yang tidak suka dengan Karismatik, Bagi saya, Karismatik itu sama dengan bahasa roh yang “berisik” itu, tepuk tangan, teriak-teriak, dan nangis-nangis yang nggak jelas. Apalagi, saya merasa sudah mantap dengan doa brevir. Lalu saya berbicara dengan Romo Yohanes Indrakusuma, waktu kami retret di Talungkenas, Medan. Di situ Romo Yohannes jelaskan dengan baik. Karismatik itu jelasnya, tidak sama atau tidak identik dengan tepuk tangan, dan bahasa Roh. Karismatik itu tidak perlu menangis. Tanpa itu tetap Karismatik. Karismatik itu adalah pembaruan hidup.
Tahun 2011, pada akhir krisis tersebut, saya mulai ikut Karismatik. Secara pikiran saya sudah mulai berubah, tapi belum aktif sekali. Saya lihat cara hidup orang Karismatik di beberapa tempat, sangat berpegang pada Firman Tuhan. Mereka cukup menguasai Kitab Suci. Mereka juga kasih kursus-kursus untuk umat saya. Saya lihat ini luar biasa. Mereka juga memberi warta pertobatan, dan banyak orang yang bertobat. Banyak sekali buah yang mereka hasilkan. Lalu kalau saya minta tolong agar membantu orang, mereka sangat cepat bergerak. Dan inilah yang membuat saya bertanya, apa yang menggerakkan orang-orang ini? Saya yakin bahwa Roh Kudus yang menggerakkan. Akhirnya, saya mau bergabung.
Sekarang, tentu saja setelah melalui proses, ikut seminar excorcisme, latihan dan keyakinan atas kuasa Tuhan, saya bisa mengusir setan. Ini hal yang saya tidak pernah bayangkan dulu.
Pak Hendry Wigin, ketua BPK Medan mengajak saya ikut seminar tentang Excorcis. Ini seminar yang lama saya cari, karena saya menemukan cara mengusir setan. Di STT tidak pernah belajar tentang ini.
Setahun yang lalu ada seorang anak gadis yang sudah satu tahun lebih kerasukan roh jahat. Sudah berganti-ganti orang yang mendoakan, bahkan dari berbagai agama, namun tidak mempan. Saya jamah dan doakan sebentar, sembuh dan tidak kambuh lagi. Puji Tuhan. Tuhan maha menyembuhkan.
Pada kesempatan lain, seorang gadis yang kerasukan setan bisa bebas setelah saya doakan. “Atas kuasa Yesus yang diserahkan kepadaku, aku perintahkan engkau keluarlah dari tubuh anak ini. Tinggalkan dia, kembalilah engkau ke neraka. Tinggalkan dia dalam damai.” Dia—tentu saja setan dalam dirinya—mencoba cium-cium kaki saya, tapi saya tetap perintahkan untuk kembali ke neraka. Anak itu pun sembuh. Puji Tuhan!! (Em)