“NEMPIL HIDUP”
Istilah Jawa di atas punya makna meminjam. Yang dipinjam biasanya bukan uang, tetapi kebutuhan pokok seperti minyak goreng, beras, gula pasir, dan lain-lain. Bila suatu saat ada keluarga kedatangan tamu dan tidak punya gula pasir untuk melengkapi minuman teh yang disajikannya, dia bisa “nempil” gula pasir ke tetangga. Setelah sempat, dia akan membeli dan mengembalikannya.
Perumpamaan tentang sepuluh gadis yang dikatakan oleh Sang Guru Kehidupan menggambarkan Kerajaan Surga (Mat 25:1). Lima bijaksana dan lima bodoh (Mat 25: 2). Yang bodoh mempunyai pelita tanpa membawa persediaan minyak. Yang bijaksana sebaliknya (Mat 25: 3-4).
Mereka ingin menyambut kedatangan mempelai pria dan akan ikut dalam pesta pernikahan. Karena sang mempelai tidak kunjung tiba, mereka tertidur. Tatkala tengah malam sang pengantin tiba, mereka bergegas bangun. Pelita para gadis bodoh nyaris padam. Karena itu, mereka mau “nempil” minyak dari mereka yang bijaksana. Namun ditolak, karena dikhawatirkan tidak cukup untuk keduanya. Para gadis bodoh pun pergi membeli minyak. Tatkala kembali pintu masuk ke pesta sudah ditutup dan mereka tidak bisa masuk (Mat 25: 11-12).
Apa maksudnya? Mengapa lima gadis bijaksana tidak berbagi dengan lima gadis bodoh? Egois? Demikianlah gambaran hidup ini. Setiap orang diberi pelita, yakni hidup yang mesti digunakan sebagai persiapan untuk masuk ke dalam hidup abadi. Setiap orang bertanggungjawab menjaga buli-bulinya terisi minyak untuk menjaga agar pelitanya tetap menyala.
Minyak yang menyalakan kesadaran adalah pendukung hidup. Sifatnya eksklusif; diberikan kepada masing-masing orang. Tidak bisa dibagikan dan orang lain tidak bisa “nempil” dari sesamanya. Barang dan uang bisa dipinjam, tetapi “melèk” atau selalu menyadari hidup dan anugerah di dalamnya menjadi tugas pribadi tiap orang.
Mereka yang selalu sadar (“éling lan waspodo”) mampu menjaga pelita hidupnya tetap menyala untuk menyambut kedatangan Tuhan. Sadar itu bagaikan pelita yang tetap menyala. Nyalanya terjamin oleh minyak yang senantiasa tersedia.
Sebagian orang lengah di tengah perjalanan hidup ini. Tenggelam dalam (kenikmatan) dunia dan lupa menyediakan minyak untuk menjaga pelitanya tetap menyala. Ada yang tanpa sadar membiarkan pelitanya mati sama sekali. Artinya, tidak peduli akan hidup abadi.
Pada saat dia terbangun atau sadar, semua sudah terlambat; tidak mungkin “nempil” pemantik kesadaran itu dari orang lain. Hidup di dunia ini bagaikan persiapan masuk ke hidup yang akan datang. Setiap orang dituntut selalu berjaga. Tidak bisa “nempil” kesadaran itu dari tetangga.
Jumat, 27 Agustus 2021
Peringatan Santa Monika
RP Albertus Herwanta, O. Carm.