MENGOSONGKAN DIRI
Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
“Pada tanggal dua puluh tiga, bulan kedua tahun seratus tujuh puluh satu Simon memasuki puri itu dengan kidung dan Daun Palem, diiringi kecapi sambil menyanyikan madah gita.” (1 Mak 13:51).
Penggunaan daun palma dan seruan Hossana dalam prosesi diduga dimulai oleh Simon Makabe ketika dia menyucikan Bait Allah pada tanggal 14 Desember 164 SM. Prosesi ini dibuat karena Bait Allah telah dinodai oleh Antiokhus IV Epifanes pada hari yang sama di tahun 167 SM. Pada masa ini, oleh orang Israel, perayaan semacam ini disebut Pesta Hanukh.
Masuknya Yesus ke Yerusalem dengan semarak meriah seperti ini, dengan seruan Hosanna, yang berarti “Selamatkanlah Kami”, bisa ditafsirkan oleh penguasa Romawi saat ini sebagai protes terbuka atas kekuasaan mereka. Dengan menunggang keledai, seperti seorang raja sebagaimana diramalkan oleh nabi Zakharia, bisa diartikan pula oleh mereka sebagai tanda revolusi dan pemberontakan, walaupun keledai adalah simbol perdamaian.
Situasi ini membuat perwakilan pemerintah Romawi menjalin kerjasama dengan para Imam, khususnya Imam Agung Bait Allah, untuk merencanakan penangkapan Yesus. Kolusi antara Pilatus dan Imam Agung Kaiyafas terlihat jelas dalam proses penangkapan, pengadilan dan hukuman mati kepada Yesus.
Tradisi ini diambil-alih oleh Uskup Yerusalem pada abad keempat dengan prosesi dari Bukit Zaitun menuju Gereja Kenaikan Yesus.
Bagi orang Kristen saat ini, minggu keenam masa Prapaskah ini dikenal juga sebagai Minggu Palma atau Minggu Sengsara. Minggu ini merupakan pintu masuk ke Pekan Suci.
Perayaan ini merupakan kombinasi antara dua kontras hidup: kemuliaan dan penderitaan. Dari kemuliaan Anak Allah, Yesus turun ke level manusia melewati jalan penderitaan dan penghinaan.
Injil Lukas menggambarkan sengsara Yesus sebagai sengsaranya orang tak bersalah (innocent martyr). Hanya dalam Injil Lukas inilah Pilatus tiga kali menyebut Yesus tak bersalah. Bahkan Herodes pun menyebutnya demikian. Tapi Yesus tetap memilih jalan ini.
Dalam bahasa rasul Paulus, tindakan Yesus ini adalah bentuk “pengosongan diri” (Flp 2:7). Dia meninggalkan segala privilege sebagai Anak Allah dan merendahkan diri mengambil rupa seorang hamba. Pengosongan diri ini adalah harga yang harus dibayar demi sebuah ketaatan pada rencana Allah untuk menyelamatkan manusia.
Kisah Yesus sesungguhnya adalah kisah hidup umat beriman juga. Sepanjang minggu ini yang direnungkan bukan saja penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus melainkan juga penderitaan, kematian dan kebangkitan kita dalam Yesus.
Hidup di dunia seringkali menjadi hidup yang penuh, bahkan sesak. Segala daya upaya kita bertujuan untuk “memenuhi” apa saja: kehendak, keinginan, selera, kerinduan, nafsu, cita-cita dan harapan.
Mengikuti jalan salib Yesus berarti “mengosongkan” diri. Ini adalah saat bermeditasi, melepaskan diri dari segala macam bentuk keterikatan dengan dunia. Kita membiarkan Allah mengisi hidup kita sesuai rencana dan kehendak-Nya.
Cara ini akan menjadi kontradiksi bagi cara hidup dunia. Akan tetapi hanya dengan cara ini kita bisa ditinggikan oleh Allah.
Albert Schweitzer dari Jerman adalah seorang jenius pada masanya. Dia meraih Doktor Filsafat sekaligus Doktor Teologi. Dia juga seorang musisi hebat pada zamannya. Konsernya selalu dipenuhi penonton di Eropah. Hidupnya dipenuhi kemewahan dan kesuksesan.
Kemudian dia mengambil keputusan mengejutkan. Dia kuliah lagi kedokteran dan lulus menjadi dokter dalam waktu singkat. Setelah itu dia meninggalkan Eropah dan pergi ke pedalaman Afrika (Gabon), membuka klinik dan rumah sakit di sana dan menolong orang-orang miskin. Akhirnya dia memperoleh hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1952, karena pengabdiannya yang luar biasa dengan prinsip etika: Penghargaan Pada Kehidupan (“Ehrfurcht vor dem Leben.”).
Ada ungkapannya yang terkenal setiap kali dia berhasil menyembuhkan orang sakit: “Alasan mengapa engkau tidak lagi sakit adalah karena Tuhan Yesus memberitahu Dokter yang baik dan istrinya untuk datang ke tepi sungai Ogooue untuk menolongmu. Jika anda berutang terimakasih, maka berterimakasihlah kepada Tuhan Yesus”.
Dia benar-benar mengosongkan diri.
Salam hangat dari Biara Novena MBSM, Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula, Sumba “tanpa wa”