INDERA HATI
“Hendaklah orang cepat mendengar dan lambat dalam berbicara,” demikian kata orang bijak. Mendengarkan dan berbicara secara bijak memerlukan kepekaan hati. Karakter bahasa Kanton untuk “mendengarkan” (ting3 atau 聽) mengandung unsur hati (sam1 atau 心).
Nabi Yesaya menampilkan hamba Allah yang dianugerahi lidah seorang murid dan telinga yang peka dalam mendengarkan (Yes 50: 4-5). Dia mendengarkan Allah dengan hati dan iman, sehingga perkataannya memberi semangat kepada orang yang letih lesu (Yes 50: 4). Kendati mesti mengalami siksaan dan penderitaan, dia tidak kehilangan harapan. Sebab Allah, penolongnya, meneguhkan hatinya seperti teguhnya gunung batu (Yes 50: 7). Tidak seorang pun dapat membantah dia (Yes 50: 8-9a).
Sang Guru Kehidupanlah sosok yang dimaksudkan oleh sang nabi. Dia memang mendengarkan dan mewartakan kehendak Allah. Berkat ketaatan-Nya mendengarkan kehendak Allah, Dia dapat menyampaikan kata-kata dan ajaran yang meneguhkan mereka yang letih lesu.
Keteguhan hati-Nya dalam Tuhan. Karena itu, Dia sanggup menghadapi para lawan dan orang yang menyiksa-Nya. Dia tidak lari. Kendati murid terdekat-Nya, Yudas Iskariot mengkhianati-Nya, misi-Nya tak dibatalkan. Pedoman-Nya, rencana Allah menyelamatkan umat manusia mesti terlaksana.
Sang Guru itu membuka jalan dan memberi teladan agar manusia melakukan yang sama. Dengan hati mendengarkan kehendak Tuhan sebelum berbicara. Menaati Tuhan demi keselamatan umat manusia.
Dalam mimbar agama, misalnya, menyampaikan pesan Tuhan setelah mendengarkan dan merenungkan dengan hatinya. Bukan menyampaikan pesan politik golongan atas nama Tuhan. Menyebarkan pesan teduh yang menyejukkan hati. Bukan benih konflik dan perpecahan.
Kini dunia diwarnai dengan kata-kata yang nyaris tak terkendali disebarkan lewat pelbagai media. Banyak yang cepat bicara, lambat mendengarkan dengan hatinya. Akibatnya, perpecahan mudah terjadi di mana-mana. Sudah waktunya orang kembali mengasah indera hatinya.
Rabu, 31 Maret 2021
RP Albertus Herwanta, O. Carm.