KUSTA SOSIAL
Oleh Romo Albertus Herwanta, O. Carm
Dalam masyarakat yang belum maju ilmu kedokterannya, penyakit kusta tidak bisa disembuhkan. Karena membawa kematian, para penyandang kusta harus mengasingkan diri dari masyarakat luas. Mengapa demikian?
Pertama, menyandang kusta berarti dekat dengan kematian. Kedua, jangan sampai menularkan kematian itu kepada yang lain. Menyembuhkan orang berpenyakit kusta sama sulitnya dengan membangkitkan orang mati.
Itulah yang terjadi dalam masa Perjanjian Lama. Di antara orang Israel, mereka yang membawa gejala penyakit kusta harus dibawa kepada imam Harun atau salah satu dari anak-anaknya (Im 13: 1-2). Pasien kusta itu najis, karena itu harus tinggal terasing di luar perkemahan (Im 13: 46). Mirip seperti orang yang positif Covid-19 harus dipisahkan dari banyak orang. Isolasi alias karantina!
Berbeda dari zaman Perjanjian Baru. Sang Guru Kehidupan menerima seorang pasien kusta yang mendekat kepada-Nya dan mohon disembuhkan (Mrk 1: 40). Sang Guru pun menyembuhkannya (Mrk 1: 41-42). Dia yang mampu membangkitkan orang mati tentu dapat juga menyembuhkan pasien kusta.
Bukan hanya itu, Dia juga mengembalikan orang itu ke dalam masyarakat. Seperti pada masa Perjanjian Lama orang berpenyakit kusta harus dibawa kepada imam Harun, demikian pula mereka yang sudah sembuh harus menunjukkan dirinya kepada para imam (Mrk 1: 44).
Dahulu, yang menentukan orang itu sakit kusta atau tidak bukan dokter, tetapi imam atau tokoh agama. Terasa aneh. Tapi itulah faktanya. Bukankah hingga kini masih banyak tokoh agama yang berperan demikian? Bukan memastikan seseorang itu terindikasi kusta atau tidak, tetapi najis atau tidak. Misalnya, ada yang melarang umatnya memberi salam kepada orang berbeda agama. Najis.
Tokoh agama ini membuat orang tidak bergaul akrab dengan sesama yang berbeda-beda, tetapi justru memisahkannya. Pemisahan demikian tidak membuat masyarakat menjadi kuat. Sebaliknya, makin rapuh karena digerogoti kusta sosial.
Shek O HK, 14 Februari 2021
Happy Valentine Day!