KUSTA MODERN
RP Albertus Herwanta, O. Carm
Tatkala memasuki sebuah kota, Sang Guru Kehidupan ditemui seorang yang menderita sakit kusta. Orang itu bersujud dan memohon, “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku” (Luk 5: 12). Tentu saja, Sang Guru menyembuhkannya.
Adegan tersebut tidak lazim di kalangan masyarakat Yahudi waktu itu. Pertama, orang kusta itu dijauhkan (dibuang) dari masyarakat. Tidak boleh bertemu orang lain. Kedua, orang lain tidak boleh menyentuh mereka, karena akan jadi najis. Kotor.
Tindakan orang kusta itu melanggar kebiasaan dan aturan. Demikian pun yang dilakukan Sang Guru. Namun justru di situlah pesannya.
Untuk mendekat kepada Tuhan, orang mesti berani melangkah melampaui aturan. Bahkan aturan agama sekali pun. Orang dituntut untuk percaya bahwa Tuhan dapat membebaskan dan menyelamatkan manusia.
Semua yang mengurung manusia, termasuk penyakit kusta bukan hambatan bagi Tuhan untuk menyembuhkannya.
Penyakit kusta yang dahulu mengucilkan manusia itu masih ditemukan saat ini. Bukan berupa penyakit fisik yang tampak pada kulit, tetapi “cacat” rohani yang menguasai mental. Misalnya, eksklusivitas. Orang dikurung oleh agama, suku, etnis, orientasi politik dan lain-lain. Akibatnya, orang dilarang bergaul dengan mereka yang berbeda agama. Kebencian terhadap yang berbeda agama ditanamkan mulai saat usia dini.
Intoleransi itu tumbuh dalam sikap radikal negatif-destruktif dan berbuah pada terorisme yang menghancurkan kehidupan bersama. Mereka yang hidup dalam budaya intoleran menolak semua yang berbeda dari dirinya. Jangankan bersentuhan, memberi salam saja bisa membuatnya najis. Perbedaan itu ancaman bagi kaum intoleran. Kusta!
Budaya itu menciptakan ketakutan. Semakin banyak yang takut, makin mudah bagi pencipta intoleransi itu mengendalikan masyarakat. Inilah kusta modern yang dimanipulasi oleh kepentingan politik dan ekonomi serta menjadi senjata pribadi atau kelompok yang ampuh untuk memukul pihak lain.
Salah satu cara menyembuhkannya adalah menerobos dan keluar dari aturan yang dibuat oleh kelompok dan masyarakat intoleran. Seperti penderita kusta dan Sang Guru menerobos aturan dan kebiasaan waktu itu, demikian pun kusta baru hanya bisa disembuhkan dengan keterbukaan yang menerima kemajemukan. Pemikiran “out of the box” dan terobosan diperlukan. Cara biasa tidak mempan. Tandanya jelas: begitu dibubarkan menjelma dalam bentuk yang baru. Itulah kusta modern.
Shek O HK, 8 Januari 2021