Kardinal Suharyo pada Hari Pentakosta: Jangan jadi Gereja yang Mandeg
SHALOM.COM, Jakarta — Saudari-saudara, umat beriman yang terkasih, semoga Roh Kudus yang datang membuat kita menjadi pribadi-pribadi yang bijaksana, mampu menemukan kehendak Allah di dalam peristiwa dan pengalaman hidup kita. Semoga Roh Kudus yang sama menganugerahkan kepada kita pertolongan dan kekuatan agar kita mampu melaksanakan kehendak Tuhan itu.
Hari Raya Pentakosta mempunyai asal-usul yang sangat jauh di dalam Perjanjian Lama. Kisah singkatnya begini: sesudah umat Allah PL merayakan Paskah yang pertama, dan dengan pimpinan Musa keluar dari tanah perbudakan Mesir, mereka menyeberang Laut Teberau. Lima puluh hari kemudian, mereka sampai di Padang Gurun Sinai. Dan waktu itulah Tuhan menganugerahkan sepuluh Firman moral dan hukum agar umat ini membangun diri mereka sebagai umat Allah berdasarkan moral dan hukum dalam sepuluh firman itu.
Harapannya, dengan pedoman itu, mereka menjadi umat atau bangsa yang berbakti kepada Allah, dan bakti kepada Allah itu berbuah dalam kehidupan bersama yang sejahtera. Waktu itu belum ada bangsa lain manapun yang mempunyai pedoman moral seperti itu. Pengalaman di Gunung Sinai ini dirayakan terus-menerus setiap tahun sebagai peristiwa yang menentukan di dalam sejarah mereka.
Paskah perjanjian Lama menandai pembebasan umat Allah dari perbudakan Mesir. Paskah Kristus menandai pembebasan kita dari perbudakan dosa. Dalam perjalanan waktu, perayaan peringatan turunnya 10 Firman kepada Musa pada 50 hari sesudah Paskah pertama berubah makna berkat wafat dan kebangkitan Kristus. Bukan lagi sebagai kenangan atas turunnya 10 Firman, melainkan sebagai perayaan turunnya Roh Kudus yang dijanjikan oleh Kristus yang bangkit. Roh Kudus itulah yang menjadi hukum baru di dalam hidup umat baru dalam Gereja yang adalah kita semua.
10 Perintah Allah diberikan kepada umat Perjanjian Lama dengan maksud agar mereka menjadi umat Allah yang kudus. Demikian juga Roh Kudus yang dianugerahkan kepada Gereja, diharapkan menjadikan kita umat yang kudus dan suci bagi Tuhan.
Pertanyaannya, apa artinya kudus bagi Tuhan? Jawabannya banyak. Salah satunya, ada dalam Surat Rasul Paulus: Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan pernyataan roh. Dengan demikian, menjadi umat yang kudus artinya menjadi umat yang selalu mengusahakan kebaikan bersama.
Oleh karena itu, salah satu tanda yang amat jelas, dalam kita sebagai keluarga, komunitas atau Gereja, memiliki kekudusan berarti seberapa sungguh-sungguh kita sebagai pribadi, keluarga, komunitas dan Gereja berusaha terlibat dalam membangun kebaikan bersama. Kesungguhan untuk membangun kebaikan bersama itu sangat jelas dalam kisah sejarah Gereja awal.
Memecahkan Roti dan Berdoa
Satu dua contoh mungkin membantu. Sebagai buah dari Pentakota itu, setelah Pentakosta lahirlah Gereja. Kelahiran dan kehidupan Gereja digambarkan sangat bagus. Dikatakan, mereka semua berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Dan selalu ada yang membagikan harta mereka kepada semua orang sesuai dengan kepentingan masing-masing. Selanjutnya ketika ada perbedaan yang sangat tajam mengenai hal yang amat mendasar, para pemimpin berkumpul untuk mencari jalan demi kebaikan bersama. Setelah perdebatan yang sangat sengit, kesimpulan pertemuan, berbunyi: adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami. Artinya, pihak-pihak yang berselisih dalam dalam pertemun yang kemudian dikenal sebagai Konsili Yerusalem itu, membuka diri terhadap bimbingan Roh Kudus sehingga keputusan yang mereka ambil demi kepentingan bersama, bukan kepentingan pihak tertentu.
Kebaikan bersama mempunyai berbagai macam nama. Dalam Nota Pastoral KWI tahun 2004, sebaikan bersama itu diberi nama Keadaban Publik. Agar keadaban publik itu dapat tumbuh dan berkembang, tiga pilar utamanya harus berjalan baik. Pertama harus dipastikan bahwa seluruh daya diperuntukkan bagi kesejahteraan umum. Kedua, masyarakat pasar mesti menjalankan usahanya dengan fair. Ketiga, masyarakat warga mesti menjaga agar saling percaya yang diandaikan dalam hidup bersama tidak diceredai.
Mengakhiri renungan ini, saya akan bercerita tentang seorang tukang sulap. Pada suatu hari, ada seorang tukang sulap yang masuk ke dalam suatu ruangan. Di sana dia melihat seekor tikus di pojok ruangan itu mendekam dan tidak bergerak. Tukang sulap itu bertanya, “Tikus, kenapa kamu diam saja mendekam di pojokan?” Tikus itu menjawab, “Saya takut.” Pesulap itu bertanya lagi, “Takut sama siapa?” Jawab tikus, “Takut kepada kucing”. Tukang sulap lalu berkata, “Kamu mau saya jadikan kucing?” Jawab tikus itu, “Saya mau.” Maka tikus itu jadi kucing. Tetapi tetap saja kucing yang tadinya tikus itu mendekam di pojokan. Ditanya lagi, “Kenapa kamu tetap saja di situ?” Jawabnya lagi, “Saya takut.” Takut apa lagi? “Saya takut anjing.” Tanya pesulap lagi, “Mau kamu saya jadikan anjing?” Jawab kucing itu, “Mau”. Tapi anjing itu tetap saja mendekam di pojok juga. Ditanya lagi, kenapa kamu di situ saja? Dia jawab, saya takut. Takut kepada siapa lagi? “Mau kujadikan harimau?” “Mau,” kata anjing itu, maka dijadikan harimau. Tapi harimau itu pun tetap saja mendekam di pojok ruangan. Tukang sulap itu berkata, “Maaf, kawan. Saya tidak bisa membantu kamu lagi. Karena meskipun tampilanmu harimau, hatimu tetap hati tikus” .
Marilah kita mohon agar Gereja kita tidak menjadi Gereja yang mandeg, mendekam terus seperti makhluk itu. Kita mohon agar tetap menjadi Gereja yang hidup, menjadi Umat yang rajin dan berani berbuat baik bagi kebaikan bersama.
Disampaikan Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo dalam khotbahnya pada Misa Hari Raya Pentakosta di Katedral Jakarta, 31 Mei 2020.