Kardinal Suharyo Menjelaskan Lagi “Solidaritas dan Subsidiaritas”
Dalam permenungannya, Kardinal Suharyo menemukan bahwa solidaritas dan subsidiaritas perlu dan dapat diwujudkan dalam lingkup pribadi, keluarga, komunitas, institusi dan masyarakat tempat Gereja hadir.
Menurutnya, kedua prinsip ini bersumber pada Ajaran Sosial Gereja, yang secara umum menitikberatkan upaya, panggilan, dan ajakan Gereja untuk menghadirkan kesejahteraan bersama bagi semua pihak.
Uskup Agung Jakarta ini mengatakan, solidaritas adalah tema sentral dalam Kitab Suci, khususnya ketika kita berbicara mengenai misteri inkarnasi dan misteri penderitaan Yesus Kristus. Allah menunjukkan solidaritas-Nya dengan umat manusia, menjadi sama dengan kita, melalui kelahiran Yesus, Sang Putra.
Dalam peristiwa sengsara Yesus, kembali Allah menunjukkan solidaritas-Nya dengan manusia yang menderita, melalui Yesus yang sengsara dan wafat untuk kita. Solidaritas adalah tindakan berbelarasa dan kepedulian Allah yang mau menjumpai dan merasakan hidup bersama manusia dengan segala dinamikanya.
Bahasa Salib
Lanjut uskup asal Sedayu, Yogyakarta ini, Salib Kristus adalah bahasa paling mudah untuk memahami solidaritas. Yang tergantung di salib adalah Allah yang berbelarasa, Allah yang mau bersolider memikul hutang dosa dan maut yang tidak dapat dibayar oleh manusia.
“Penderitaan kitalah yang ditanggung-Nya. Rasa kecewa karena pengkhianatan, mengalami ketidakadilan, ditinggalkan, dipermalukan, yang dialami oleh Tuhan Yesus menjadi cermin paling jernih untuk memaknai perjuangan kita sebagai pengikut Kristus,” jelasnya.
Apa itu Subsidiaritas?
Jika tema solidaritas sering dibicarakan dalam hidup menggereja, lain halnya dengan tema subsidaritas.
Uskup Suharyo menjelaskan, dalam pandangan Ajaran Sosial Gereja, prinsip subsidiaritas diperkenalkan pertama kali di abad ke-19 oleh Uskup Emmanuel von Ketteler (Keuskupan Mainz, Jerman). Ia berbicara mengenai “hak subsidiaritas” seluruh kelompok masyarakat. Selanjutnya, prinsip ini digaungkan oleh Paus Leo ke XIII, Paus Pius XI dan oleh Paus Yohanes Paulus II .
Secara prinsip dan dalam konteks sejarah Ajaran Sosial Gereja tambah Suharyo, subsidiaritas dipahami sebagai tidak adanya intervensi dari kelompok dengan tingkatan lebih tinggi, misal negara, untuk menentukan hal-hal yang dapat diputuskan secara mandiri oleh kelompok dalam tingkatan lebih rendah, misal komunitas iman dan keluarga.
Subsidiaritas menekankan prinsip otonomi, kemerdekaan berpendapat, dan rasa hormat terhadap pribadi manusia yang diwujudkan dalam kemandirian untuk pengambilan keputusan.
Semangat yang tampak dalam prinsip subsidiaritas adalah pengakuan akan kekayaan dan kekhasan masing-masing kelompok akar rumput dalam berkontribusi untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Subsidiaritas mengakui bahwa masing-masing kelompok memiliki kekhususan yang membuatnya berbeda dari kelompok lainnya, namun semuanya sama-sama dipanggil untuk mewartakan kisah Tuhan yang bermuara pada tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan bersama.
Demikian juga di KAJ, patut disyukuri aneka keunikan dan kekhasan dimiliki oleh masing-masing komunitas iman: paroki, komunitas-komunitas kategorial, komunitas pendidikan, komunitas doa, dan lain sebagainya, yang dengan satu dan lain cara telah berupaya untuk memberikan sumbangsih mereka untuk memajukan kesejahteraan bersama.
“Dengan demikian wajah Allah yang penuh belas kasih bagi semua orang semakin nyata,” katanya.
Allah yang kita imani adalah Allah yang terlibat dalam hidup manusia dan melibatkan diri kita untuk ambil bagian dalam kisah-Nya.
Sejak awal pelayanan-Nya di Galilea, Yesus selalu melibatkan orang-orang pilihan-Nya, yang diajak untuk ikut terlibat mengambil tanggung jawab dalam karya keselamatan-Nya.
Semangat inilah yang ditampakkan dalam tema Arah Dasar (Ardas) 2024: Solidaritas dan Subsidiaritas.
Seluruh umat KAJ dipanggil untuk menunjukkan semangat solidaritas dengan semua orang, terutama saudari-saudara kita yang berkekurangan dan menderita, sebagaimana Allah telah menunjukkan solidaritas-Nya kepada kita.
Cara kita untuk menunjukkan solidaritas tersebut dapat bersumber dari aneka kekhasan, kekayaan, dan keunikan dari masing-masing komunitas iman di KAJ. Allah mengajak kita terlibat untuk menampakkan wajah-Nya yang berbelas kasih sesuai dengan konteks kemasyarakatan yang kita hidupi dan perbedaan kekhasan yang kita miliki. (SHA)