Dalam Ruang Tunggu Tuhan
Bekerja tanpa berdoa tak ada artinya. Doa tanpa bekerja juga sia-sia. Hidup harus berada dalam keseimbangan.
Suatu pagi, seorang Eksekutif Periklanan, bertemu dengan Konsultan Pemasarannya dalam sebuah sarapan di restoran.
Dia bercerita bahwa dirinya sedang mengalami kekosongan dalam hidupnya, sekalipun mencapai banyak kesuksesan hidup dan usaha.
“Apakah engkau ingin mengisinya?” tanya Konsultan Pemasaran, rekannya itu. “Tentu saja,” jawabnya.
Si Konsultan Pemasaran memandang Eksekutif Periklanan itu dan berkata, “Kalau begitu mulailah setiap hari dengan satu jam doa.”
Eksekutif Periklanan itu menatap rekannya itu lalu berkata, “Don, kamu pasti bercanda. Jika saya mencobanya, saya akan meninggalkan musik rock saya.” Konsultan Pemasaran itu tersenyum dan berkata, “Itulah yang saya katakan 20 tahun yang lalu.”
Wanita itu meninggalkan restoran dalam pikiran yang kacau. Anjuran dari temannya tersebut berubah menjadi pertanyaan. “Mulailah setiap pagi dengan doa? Mulailah setiap pagi dengan satu jam doa?”
Benar-benar keluar pertanyaan! Keesokan paginya dia mendapati dirinya melakukan hal itu. Dan dia melakukannya terus menerus sejak saat itu.
Wanita ini mengakui bahwa itu tidak selalu mudah. Ada pagi hari dia dipenuhi dengan kedamaian dan kegembiraan yang luar biasa. Tapi ada pagi-pagi lain dia tidak dipenuhi apa-apa selain kelelahan.
Pada pagi yang melelahkan itulah dia mengingat hal lain yang dikatakan Konsultan Pemasarannya. “Akan ada saat-saat ketika pikiran Anda tidak mau masuk ke tempat kudus Tuhan.
Saat itulah Anda menghabiskan waktu Anda di ruang tunggu Tuhan. Tetap saja, Anda ada di sana, dan Tuhan menghargai perjuangan Anda untuk tetap di sana.”
Injil Lukas (10:38-42) berkisah tentang dua pribadi, sahabat dan murid Yesus, Maria dan Marta.
Maria duduk mendengarkan pengajaran Yesus, sedangkan Marta sibuk bekerja melayani Yesus dan murid-murid-Nya. Ini tentang dua sikap utama murid Yesus: diam mendengarkan dan bekerja berbuat baik.
Menariknya, kisah ini diapit oleh dua kisah sebelum dan sesudahnya yang juga mempunyai nuansa yang sama: Kisah tentang orang Samaria yang berbuat baik dan kisah tentang Yesus mengajar murid-murid-Nya berdoa.
Di sini kita melihat sebuah keseimbangan dalam hidup. Gabungan sikap keduanya adalah ideal seorang pribadi.
Nampaknya Yesus “mencela” perbuatan Marta dan memuji Maria. Tetapi jika kita membaca kisah sebelumnya (Luk 10:1-18), di mana Yesus dan para murid-Nya ditolak, maka Marta adalah pahlawan karena menerima Yesus di rumahnya dan melayani dengan sepenuh hati.
Marta adalah tokoh utama sedangkan Maria “hanya” saudari Marta.
Sikap Maria dipuji karena begitulah seharusnya sikap seorang murid. Setia mendengarkan dan menaruh perhatian. “Manusia hidup bukan dari roti saja melainkan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah”.
Orang yang mendengarkan dan melaksanakan sabda Tuhan adalah sungguh ibu dan saudara Yesus.
Sikap Maria bertolak-belakang dengan sikap ahli taurat dan orang Farisi yang menolak mendengarkan Yesus.
Kedua wanita ini adalah pahlawan. Yang satu menerima Yesus di dalam rumahnya dan yang satu setia mendengarkan apa yang dikatakan Yesus. Kerja dan doa saling melengkapi.
Bekerja tanpa berdoa tak ada artinya. Doa tanpa bekerja juga sia-sia. Hidup harus berada dalam keseimbangan.
Jika hidup menjadi terlalu berat karena memiliki banyak, baik harta maupun persoalan, maka beban itu akan menjadi ringan jika kita duduk tenang, merenung di hadapan Tuhan, melepaskan diri dari segala bentuk ikatan.
Datang dan pergi kita tak membawa apa-apa. Sikap lepas bebas dari segala ikatan duniawi adalah kemerdekaan yang sejati. Lahir dalam kemerdekaan dan mati juga dalam kemerdekaan.
Salam dari Asrama Pewarta Injil Redemptoris, Padadita, Waingapu Sumba “tanpa wa”.