BENIH ILAHI

August 10, 2021


Dalam Kitab Kejadian tertulis bahwa manusia diciptakan secitra dengan Allah (Kej 1: 26). Kepada manusia itu Allah memberikan kuasa. Jadi, manusia mampu mengambil bagian dalam kekuasaan Allah itu.

Lebih dari itu, Tuhan menghendaki agar manusia itu menjalani hidupnya sesuai dengan kehendak-Nya. Karena Allah itu baik, demikian pula kehendak-Nya. Mereka yang mengambil bagian dalam Dia akan menghasilkan yang baik pula.

Mengenai hal itu Santo Paulus menulis bahwa mereka yang menaburkan sedikit kebaikan akan menuai sedikit; yang menabur banyak akan menuai secara berkelimpahan (2 Kor 9: 6). “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9: 7-8).

Ajaran itu cukup jelas. Namun sedikit orang dengan sukarela melaksanakannya. Ada yang belum rela memberi, karena merasa dirinya masih punya banyak kebutuhan. Ada pula yang tidak ikhlas membagikan hidup dan miliknya kepada mereka yang berbeda (suku, agama, ras, etnis, dan lain-lain). Ada saja alasan yang menghalangi orang berbagi.

Sementara di dalam diri setiap orang Allah menanamkan benih untuk berbagi. Hidup sebagai rahmat dan pemberian memang pada dasarnya mesti dibagi. Allah sendiri pun berbagi. “Ia membagi-bagikan, Ia memberikan kepada orang miskin, kebenaran-Nya tetap untuk selamanya. Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu” (2 Kor 9: 9-10).

Jika tidak dibagi, hidup itu akan mati. Itulah yang ditegaskan oleh Sang Guru Kehidupan.
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12: 24).

Secara kodrati manusia cenderung ingin menahan apa yang dimiliki untuk diri sendiri. Termasuk hidupnya. Mengapa? Karena mengira bahwa mekanisme itu yang menyelamatkan dirinya. Yang benar, sebaliknya. Semakin orang melepaskan hidupnya dan menjadi bebas, semakin mudah dia tumbuh dan berkembang.

Santo Laurentius yang rela mati sebagai martir di Roma pada 10 Agustus 258 menggarisbawahi kebenaran sabda Sang Guru. “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa” (Yoh 12: 25-26). Kematiannya jelas menegaskan bahwa benih ilahi yang ditaburkan dalam dirinya menghasilkan buah justru saat jatuh di tanah dan mati. Dalam kerja sama dengan manusia, Tuhan membuat biji yang satu berlipatganda (2 Kor 9:8).

Selasa, 10 Agustus 2021
RP Albertus Herwanta, O. Carm.