KAMIS
(Hijau),
16 JULI
Santa Maria dari Gunung Karmel
Yesaya 26:7-9,12,16-19
Mazmur 102:13-14ab,15,16-18,19-21
Matius. 11:28-30
28 Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. 29 Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. 30 Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.”
RELIGIOSITAS YANG MEMBERI KELEGAAN
“Ya Tuhan, Engkau akan menyediakan damai sejahtera bagi kami, sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami.” —Yesaya 26:12
TANPA SADAR, sering kita telah membuat agama menjadi sesuatu yang membebani, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Situasi semacam itu mudah muncul ketika agama dipisahkan dari kehidupan. Agama menjadi sebuah ilmu (apalagi kalau dijadikan ideologi). Ia menjadi alat kekuasaan yang bersifat mutlak bagi para elit dan ahlinya. Sebaliknya ia mudah menjadi beban berat bagi para penganutnya, yang menggantungkan diri pada agama sebagai ilmu tersebut.
Maka, ketika para ahli Taurat dan kaum Farisi memutlakkan agama tanpa mau ‘berdialog’ dengan situasi kemanusiaan, Yesus angkat bicara. “Kalian mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di bahu orang, tetapi kalian sendiri tidak mau menyentuhnya.” (Mat 23:4).
Religiositas dari Yesus sangat berbeda. Dengan religiositas Yesus memberi kelegaan. Jiwa kita pun akan mendapat ketenangan, karena “kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat 11:29-30). Hal itu dimungkinkan karena dalam religiositas Yesus, Dia sendiri hadir, sebagai “yang lemah lembut dan rendah hati” (ay. 29). Kehadiran-Nya dalam kehidupan kita itulah, yang meringankan, karena di dalam Dia, kita semua telah dibebaskan dari beban maut dan dosa. Bagaimana kita ?
Santo Paulus melihat kehadiran Kristus di dalam dirinya, merupakan sebuah kekuatan baru, yang mengubah orientasi hidupnya, sekaligus memberi keberanian. Ia tidak pernah akan sendiri lagi, terjerat oleh egoismenya. “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Putra Allah, yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2;20). Kasih yang diterima dari Kristus, dan yang dirasakannya dalam perjalanan hidupnya, menjadi dasar sikap religisiotasnya Paulus yang baru.
Di sinilah, bagi setiap orang Kristen yang menghayati iman akan religiositas Yesus—artinya Allah yang diam di dalam hidup kita–menjadi sesuatu yang ringan dan enak, karena kini, ada orientasi iman yang baru mengenai kehidupan, yaitu bahwa “dalam segala sesuatu, lakukanlah dalam kasih kepada Allah dan kepada sesama.” Menurut St. Teresa dari Avilla, “Kasih dari Allah itulah, yang mengubah kerja menjadi sesuatu yang ringan.” (WIT).
DOA : Ya Bapa, Engkau-lah sumber kehidupan kami. Melalui sinar cahaya-Mu, kami melihat Terang Kristus. Peliharalah kami dalam kesatuan dengan Kristus, sehingga hati kami mampu melihat dan mencintai sesama kami dengan tulus, seperti Engkau telah mengasihi kami.
JANJI : “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan” — Matius. 11:28-30.
PUJIAN : Sehubungan dengan religiositas, kita ingat akan St. Magdalena Albrici (+1465) berasal dari Kota Como, Italia. Dalam usia 20 tahun, ia masuk ke biara Augustinian, yang hidupnya miskin, dan jauh dari kota. Selama dalam biara itulah, berkat religiositasnya yang lembut seturut teladan Yesus, ia mampu mengembangkan panggilan hidup membiara di kalangan orang-orang muda zamannya.