Kematian Yesus Mulia dan Memerdekakan
Oleh Mgr. Paulinus Yan Olla MSF, Uskup Tanjung Selor-Kalimantan Utara
Wafat Yesus merupakan salah satu pengalaman sentral para murid-Nya yang ikut membentuk pengalaman dasar orang Kristiani. Wafat Yesus melalui penderitaan merupakan bagian dari iman kristiani yang sulit dipahami ketika peristiwa itu terjadi seperti dikisahkan dalam Injil. Di masa kini pun Allah yang menderita sulit dipahami oleh orang yang tidak mengimaniNya. Masih ada yang menolak adanya Allah yang bisa dilahirkan, dan lebih menolak lagi Allah yang bisa mati disalibkan.
Wafat Yesus dalam Iman Jemaat Perdana
Semua Injil mengisahkan wafat Yesus dengan menekankan kebebasan dan kerelaan Yesus dalam menerima wafat-Nya (bdk. Mrk 14:42; Mat 26: 52-56; Yoh 18:4-11). Kematian Yesus merupakan pukulan besar bagi mereka, maka mereka berusaha mencari keterangan. Apa dasarnya yang mendorong Yesus untuk menderita sengsara dan mati dengan rela?
Jawaban pertama, Yesus dibunuh karena tugasNya sebagai nabi. Wafat Yesus adalah suatu peristiwa kemartiran (bdk. Mat 5:11-12; Luk 6:22-23). Yesus dipandang sebagai seorang nabi yang besar. Yesus mengajak orang untuk bertobat dan kembali pada hukum yang benar. Perdebatan antara Yesus dan lawanNya menyangkut hukum yang benar semakin meningkat. Pada akhirnya, lawan-lawan Yesus menuduhNya sebagai nabi palsu. Ajaran-Nya dianggap menyesatkan rakyat (bdk. Yoh 7:12; Mrk 14:64; Luk 5:21). Tuduhan para lawan Yesus dibantah orang kristiani dengan menunjuk pada kebangkitan Kristus (Mat 27:62-64). Justru para lawan Yesus itulah yang menyesatkan rakyat (Mrk 3:28) dan merekalah yang mengabaikan perintah Allah demi adat-istiadat manusia (bdk. Mrk 7:8; 10:1-12). Maka bagi jemaat kriatiani, kematian Yesus adalah kematian kemartiran oleh nabi besar.
Jawaban kedua, kematian Yesus ada dalam sejarah keselamatan. Artinya, kematian Yesus masuk dalam tata penyelamatan Ilahi di mana “orang benar” menderita. Berdasarkan Kitab Suci Perjanjian Lama, umat Kristen yakin bahwa Yesus harus menanggung banyak penderitaan dan akhirnya dibunuh (bdk. Mrk 8:31; 9:12b; 14:21; 15:31,38; Luk 17:25; 24:13-32). Jemaat Kristen Perdana melihat bahwa wafat Yesus termasuk dalam tata Allah. Allah ada di dalamnya.
Orang benar yang menderita untuk masuk dalam kemuliaan mendapat dasarnya dalam teologi Yahudi. Di dalamnya ada teka-teki terutama tentang penderitaan orang benar seperti tercantum dalam sastra Kebijaksanaan. Ada orang benar yang menderita dan penderitaan itu dilihat sebagai pendidikan dari Allah seperti terungkap dalam Kitab Ayub. Dalam Kitab Mazmur pun terdapat banyak mazmur yang berisi ratapan orang-orang benar yang dianiaya tetapi akhirnya mendapat pertolongan dari Allah. Teologi di atas membantu Jemaat Kristiani Perdana untuk memahami mengapa Yesus harus menderita dan akhirnya memperoleh kemuliaan. Kebenaran Yesus justru terungkap dalam penderitaan yang berakhir kemuliaan-Nya (bdk. Kis 3:14).
Jawaban ketiga, kematian Yesus bersifat memperdamaikan dan menebus. Yesus menjadi korban penebus dosa. Yesus dalam pemahaman ini, wafat bagi kita orang berdosa sebagai pengganti kita. Yesus menjadi korban silih bagi dosa-dosa kita (bdk. Gal 1:4; Rm 5:8; 8:32; I Kor 15:3-5; Mrk 14:24; 1 Ptr 2:21-24). Jawaban ini muncul dari ingatan historis para murid akan hari-hari terakhir hidup Yesus tentang kematian-Nya sendiri yang makin mendekat (bdk. Mrk 14:24).
Makna Wafat Yesus di Masa Kini
Dalam refleksi teologis kristiani ada banyak gambaran yang digunakan untuk mengungkapkan tindakan pembebasan dan penyelamatan oleh Allah melalui wafat Yesus. Tradisi Gereja menggunakan berbagai gambaran untuk mengungkapkan penderitaan Yesus. Misalnya, pengorbanan, penebusan, perdamaian, pertukaran, pemulihan, pengganti (bdk. F.S. Florensa, “Redepmtion”, 2006: 849). Setiap gambaran yang digunakan untuk melukiskan sengsara Yesus di atas memengaruhi pula gambaran manusia tentang Allah dan dunia.
Berbagai gambaran di atas memerlihatkan kaitan antara penderitaan dan wafat Yesus sebagai tindakan yang membawa pembebasan atau kemerdekaan bagi manusia. Ada tiga hal yang dapat memperjelas hal itu. Pertama, penderitaan dan wafat Yesus tidak mempunyai makna jika tidak dikaitkan dengan pewartaan, pelayanan dan cara hidup Yesus. Dalam hidup Yesus ada suatu solidaritas yang mendalam antara kesatuan dengan Bapa-Nya yang ingin menyelamatkan manusia dan solidaritasnya dengan manusia yang akan diselamatkan-Nya.
Kedua, penderitaan dan wafat Yesus terkait juga dengan tanggapan iman umat Kristiani terhadap hidup dan wafat Yesus. Di sana ada kehadiran Roh Tuhan dalam komunitas atau Gereja. Keselamatan dihayati dalam komunitas sebagai buah dari penderitaan dan wafat Yesus.
Ketiga, penderitaan dan wafat Yesus memperlihatkan adanya kaitan dengan kasih Allah yang gratis sebagaimana terungkap dalam alam ciptaan dan rekonsiliasi serta penebusan. Solidaritas Yesus dengan manusia memperlihatkan belas kasih Allah.
Dari ketiga hal di atas menjadi tampak bahwa penderitaan dan wafat Yesus menjadi jalan untuk mencapai pembebasan manusia. Penderitaan dan wafat Yesus menjadi bagian dari tugasNya sebagai Juru Selamat. Yesus menghayati wafat-Nya sebagai peristiwa yang menyelamatkan orang lain. Ia mengambil jalan derita sebagai jalan memerdekakan manusia. Yesus menjalani penderitaan sebagai “perintis,” yakni menderita bagi orang yang percaya kepadaNya. Bukan berarti bahwa mereka yang beriman pada Yesus tidak akan mengalami penderitaan, tetapi bahwa mereka melalui penderitaan akan terluput dari penghakiman Allah. Jadi murid-murid selamat bersama dengan Yesus dan berkat Yesus.
Tawaran Bagi Kebebasan Manusia
Keselamatan sebagai buah wafat dan kebangkitan Yesus merupakan tawaran Allah yang terarah pada kebebasan manusia. Relasi manusia dengan Allah bukanlah suatu relasi yang searah saja. Relasi manusia dengan Allah merupakan suatu realitas, bukan hanya pada manusia melainkan juga pada Allah. Sejarah manusia adalah sejarah kebebasan yang terbuka. Bisa terjadi bahwa keselamatan yang ditawarkan atau dihadirkan oleh wafat dan kebangkitan Yesus ditolak manusia, tetapi Allah sendiri menghormati kebebasan kita.
Keselamatan menjadi rahmat bagi manusia. Artinya, di sana terjadi peristiwa di mana kasih Allah mencapai manusia. Rahmat penebusan dimengerti sebagai hadiah kasih Allah bagi manusia dan karena itu hanya dapat dimengerti ketika diungkapkan sebagai peristiwa kebebasan. Di sana ada perjumpaan dari “pribadi-pribadi bebas,” yakni Allah sebagai sumber rahmat dan manusia sebagai ciptaan tetapi partner penerima rahmat Allah.
Dalam relasi yang mengarah pada kebebasan manusia, Allah selalu yang mengawali dan membuka relasi dengan manusia, sekaligus setia merawat relasi itu. Allah terus-menerus memberikan diri kepada manusia dan mencapai puncaknya dalam pemberian diri Allah dalam Yesus Kristus. Kendati demikian manusia memiliki kebebasan mengambil jarak dari segala sesuatu termasuk juga terhadap Allah untuk kemudian menentukan sikap dengan bebas. Maka tanggapan iman atas wafat dan kebangkitan Kristus benar-benar merupakan tindakan asali dan tidak tergantikan dari manusia. Manusia bebas memilih beriman. Dalam terang itu kita dapat berseru bersama St. Agustinus, “Allah menciptakan engkau tanpa engkau, tetapi tidak akan menyelamatkan engkau tanpa engkau.” Wafat Kristus mulia hanya memerdekaan dan membawa keselamatan jika ia ditanggapi kebebasan manusia berupa iman.