Antara Einstein dan Orang Samaria yang Baik Hati
Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Ketika Albert Einstein—seorang ahli Fisika dan dikenal sebagai orang jenius abad ke-20—melarikan diri dari Nazi Jerman pada tahun 1933, dia datang ke Amerika. Dia membeli sebuah rumah dua lantai dalam jarak berjalan kaki dari Universitas Princeton.
Di sana ia berjumpa dengan beberapa orang paling terkemuka pada zamannya dan berdiskusi dengan mereka tentang berbagai masalah mulai dari Fisika hingga hak asasi manusia.
Tapi Einstein mempunyai tamu lain juga yang sering berkunjung. Dia bukan orang penting di mata dunia seperti tamu lainnya. Dia adalah Emmy, gadis kecil, tetangganya berusia sepuluh tahun. Anak ini kesulitan belajar Matematika.
Ketika Emmy mendengar bahwa ada seorang pria yang sangat baik, yang tahu semua hal tentang Matematika dan menjadi tetangganya, dia mengunjungi pria itu di ujung blok untuk melihat apakah dia akan membantu menyelesaikan masalahnya.
Einstein menerima dia dengan senang hati menjelaskan semua pelajaran Matematika kepadanya sehingga dia bisa memahaminya. Einstein juga memersilakan untuk datang kapan saja dia membutuhkan bantuan.
Beberapa minggu kemudian, salah satu tetangga memberi tahu ibu Emmy bahwa Emmy terlihat memasuki rumah fisikawan terkenal dunia itu.
Dengan ngeri, sang ibu memberi tahu putrinya bahwa Einstein adalah pria yang sangat penting, yang waktunya sangat berharga, dan tidak boleh diganggu dengan masalah seorang siswi kecil.
Dia kemudian bergegas ke rumah Einstein, dan ketika Einstein membukakan pintu, dia dengan panik meminta maaf atas kunjungan putrinya — karena telah mengganggu. Tapi Einstein langsung memotong omongannya.
Dia berkata, “Dia tidak mengganggu saya! Ketika seorang anak menemukan kegembiraan dalam belajar, maka itu adalah kegembiraan bagi saya untuk membantunya belajar! Tolong jangan hentikan Emmy untuk datang kepadaku dengan masalah sekolahnya. Dia diterima di rumah ini kapan saja.” –
Tiga Filosofi
Kisah orang Samaria yang baik hati dalam Injil hari ini (Luk 10:25-37) memperlihatkan tiga ciri kepribadian manusia dengan filosofi hidup yang berbeda-beda.
Perampok mempunyai filosofi hidup: Milikmu adalah milikku. Aku dapat mengambilnya dengan paksa. Itulah sebabnya dia merampok orang yang melewati jalan Yeriko. Saat itu diperkirakan ada 12 ribu perampok dan pencuri di sekitar wilayah Yudea.
Para Imam Yahudi atau Lewi mempunyai filosofi hidup: Milikku adalah milikku. Aku tak bisa dipisahkan dengannya. Mereka mengutamakan “kesucian” dirinya untuk pelayanan ibadat di Bait Allah. Karena menyentuh “orang mati”, (orang yang dirampok dikira sudah mati) membuat mereka jadi najis selama 9 hari.
Orang Samaria yang baik hati mempunyai filosofi hidup: Milikku adalah milikmu juga. Aku harus membagikannya denganmu. Dia mengabaikan permusuhan dengan orang Yahudi karena belaskasihannya terhadap sesama yang tak berdaya.
Yesus menampilkan wajah orang-orang ini dengan maksud menjawab pertanyaan orang ahli Taurat yang hendak mencobai Dia: “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
Cara hidup ahli Taurat ini sudah memperlihatkan pribadi yang beragama dengan taat. Akan tetapi ada soal dengan “kasih terhadap sesama”. Dia ingin mendapat penjelasan yang lebih jauh tentang arti “sesama”. Mengapa? Karena sesama untuk dia adalah orang Yahudi pada umumnya, secara khusus sesama ahli Taurat dan Farisi. Bukan orang Samaria apalagi orang kafir.
Dengan perumpamaan ini Yesus menjelaskan bahwa “sesama” adalah mereka yang menunjukkan kasih terhadap orang lain, tak peduli suku bangsanya, latar belakang agamanya, atau tempat tinggalnya.
Tindakan kasih atau perbuatan orang adalah identitas dia yang sesungguhnya. Bukan KTP atau paspor atau meterai agama yang sifatnya formal belaka. Semua itu bisa jadi tanda pengenal, tapi hanya di permukaan.
Tanda pengenal sejati yang membuat orang menyadari diri sebagai satu keluarga, satu bangsa, atau satu umat manusia adalah apa yang keluar dari hatinya dan terwujud dalam perbuatannya.
Salam dari Biara Novena “Maria Bunda-Nya yang Selalu Menolong” (MBSM), Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula, Sumba “tanpa wa”.