Keberanian Profetis: Ambil Risiko atau Aji Mumpung?
Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Musa adalah orang yang pertama dipanggil untuk membawa suara kenabian, menghadap Firaun untuk meminta pembebasan bangsa Israel. Pada awal mula dia takut, baik kepada Firaun maupun kepada bangsa Israel yang terkenal keras kepala. Dia menolak, tetapi Allah tetap mengutus dia.
Nabi Yeremia, yang menganggap diri terlalu muda, beberapa kali terancam dibunuh, dibuang ke dalam sumur kosong dan berlumpur, dipenjara, diusir ke Mesir. Dan yang paling menyakitkan, dipaksa untuk melihat kehancuran Yerusalem karena penduduknya tidak mau mendengar pesan-pesan kenabiannya.
Nabi Elia, paling kurang dua kali menasehati Raja Ahab tentang penyembahan berhalanya. Sebagai akibatnya, Elia dipaksa untuk melarikan diri ke padang gurun di mana dia menderita isolasi (1 Raj 16:29-17,3).
Yesus juga mengalami penolakan sejak awal karyanya. Dia ditolak dan mau dibunuh karena menyatakan apa yang benar; siapa diri-Nya dan siapa bangsa Israel di hadapan nabi-nabi dalam sejarah bangsa itu. “Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu” (Luk 4:29).
Penolakan terhadap Yesus ini terjadi karena mereka menganggap Dia hanya anak seorang tukang kayu yang tidak mungkin menjadi Mesias, penyelamat bangsa Israel dari kekuasaan Romawi dan mendirikan kembali tahta Daud. Pernyataan Yesus bahwa dia adalah Mesias merupakan bentuk hujat atau penghinaan terhadap Allah, menurut mereka. Menyejajarkan diri-Nya dengan nabi besar seperti Yeremia dan Yesaya juga merupakan bentuk penghinaan lainnya.
Kebenaran ucapan Yesus memang tidak bisa dibuktikan saat itu juga, tetapi dalam perjalanan selanjutnya semua makin menjadi jelas bahwa yang dikatakan Yesus adalah kebenaran. Kalau bicara kemerdekaan politis misalnya, 300 tahun sesudahnya agama Kristen menjadi agama resmi di Kerajaan Romawi dan bahwa orang-orang Kristen bebas mempraktekkan iman mereka.
Profesi kenabian bukan sesuatu yang membuat orang bangga dan bersukacita. Profesi ini mengandung risiko yang besar dan sering taruhannya adalah nyawa. Mengungkapkan kebenaran, baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan selalu mengandung risiko, bahkan sampai saat ini.
Sejarah gereja mencatat ratusan bahkan ribuan orang telah menjadi martir karena sikap kenabian yang mereka hidupi. Ini belum terhitung mereka yang menderita secara fisik maupun psikis karena mempraktikkan imannya di negara-negara modern saat ini.
Para nabi, dalam posisi ini termasuk Yesus, dan para martir adalah orang-orang yang berani menentukan pilihan pada sisi yang terang, dan setia berjuang demi pilihan itu, siapa pun yang harus dihadapi. Sumber utama kekuatan mereka adalah bahwa Allah bersama mereka: “Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau” (Yer 1: 8).
Adalah benar bahwa hidup tak bisa dilihat secara hitam putih. Tapi itu tak berarti bahwa seseorang tak boleh menentukan sikap hendak berdiri di mana. Benar dan salah, baik dan buruk, cinta dan benci, selalu menuntut sebuah pilihan. Tidak semua orang berani memilih, dan dari mereka tidak semua setia pada pilihan.
Kembali pada diri kita: memilih dan setia pada pilihan itu apa pun risikonya? Atau menjadi orang yang hanya “aji mumpung”?
Salam hangat dari Wisma Sang Penebus Nandan, Yogyakarta