OTORITAS UNTUK MELAYANI
Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Seorang tukang cukur profesional membuka usahanya di sebuah kota. Konsumen pertama yang masuk untuk mencukur rambutnya adalah seorang pastor. Selesai mencukur, pastor itu mau membayar. Tukang cukur menolak menerima uang sambil berkata: “Tak perlu bayar Pastor. Anda adalah pelayan Tuhan dan umat. Anggaplah ini sebagai pelayananku juga untuk Tuhan”. Pastor berterimakasih lalu pergi.
Keesokan harinya tukang cukur itu mendapat kiriman bunga yang indah dengan kartu ucapan terimakasih yang tulus atas kebaikannya.
Hari berikutnya datang lagi konsumen baru, seorang Polisi. Selesai mencukur, Polisi itu hendak membayar. Tukang cukur pun menolak menerima uang dengan alasan, Polisi adalah pelayan masyarakat. “Anggaplah ini sebagai pelayananku untuk masyarakat juga”.
Esok hari, ketika membuka tempat kerjanya, tukang cukur mendapati serombongan polisi sudah berbaris di depan pintu, antri untuk cukur gratis!
“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mrk 10,43). Kata-kata Yesus melukiskan secara singkat bagaimana seharus seorang murid Yesus menjadi pemimpin.
Ungkapan Yesus ini merupakan jawaban atas permintaan Yakobus dan Yohanes agar mendapatkan tempat di sisi kanan dan kiri Yesus ketika Dia bertahta sebagai raja.
Dalam tradisi Timur Tengah, duduk di sisi kiri dan kanan seorang tuan rumah adalah kehormatan. Posisi ini hanya diberikan kepada orang-orang terdekat; keluarga, sahabat atau orang yang memang hendak diposisikan seperti itu.
Yesus justru menghindarkan kecenderungan macam ini dari para murid-Nya karena inti dari semua otoritas yang dimiliki Yesus adalah melayani sambil berkorban.
Kekuasaan dan otoritas adalah dua hal yang berbeda. Kekuasaan adalah suatu hal yang dimiliki seseorang dan dipraktikkan atas orang lain. Seringkali bahkan dipaksakan kepada orang lain.
Otoritas adalah sesuatu yang pertama-tama dimiliki seseorang dari kekuasaan yang lebih tinggi – biasanya Tuhan Allah sebagai sumber otoritas tertinggi. Otoritas ini diakui dalam diri seseorang oleh mereka yang dengan bebas memilih, menerima dan menaati seseorang sebagai pemimpin mereka.
Dalam arti ini otoritas dipraktikkan atas orang banyak dalam semangat melayani dan berkorban. Semangat ini meniru semangat Yesus yang berkata: “bukan datang untuk dilayani melainkan untuk melayani”. Gambaran paling ekstrim yang dibuat Yesus adalah berlutut dan membasuh kaki para murid-Nya sambil mencium kaki mereka.
Francesco Alberoni, seorang Sosiolog Italia menggambarkan ciri kepemimpinan yang tepat sebagai pribadi yang: menginspirasi, rendah hati, memiliki semangat melayani, yang memiliki ketenangan, memberi contoh yang baik, mempunyai daya tahan, selalu siap sedia, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri.
Umat Kristen adalah komunitas yang setara dan saling berbagi tanggungjawab. Dalam kesetaraan, setiap orang bekerja dengan tugas dan tanggungjawab yang berbeda tapi tetap dalam semangat melayani orang lain.
Sebagai orang Kristen, kita diundang untuk melayani sesama, dan melayani dengan senyum. Kita ditantang untuk meminum dari piala Yesus dengan mengabdikan diri dalam pelayanan yang rendah hati, penuh pengorbanan, seperti Yesus. Tak ada pelayanan tanpa pengorbanan dari pihak kita, entah kecil atau besar. Tempat terbaik untuk memulai proses melayani dengan pemberian diri adalah rumah kita, komunitas kita dan lingkungan kerja kita.
“Hidup akan terasa lebih berat bagi kita ketika kita hidup demi orang lain, tetapi juga menjadi hidup yang lebih kaya dan lebih membahagiakan” (Albert Schweitzer).
Salam dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba, NTT.