Mengapa Yesus Marah di Bait Allah?
Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Istilah “Bait Allah” datang dari kata Ibrani “bet” yang berarti “rumah”. Bait Allah yang pertama didirikan oleh raja Salomon pada tahun 966 SM di atas gunung Muriah. Luas Bait Allah ini kira-kira 35 are atau 3500 meter persegi. Bait Allah ini dihancurkan oleh Raja Nebukadnezar dari Babilonia pada tahun 587 SM. Itulah juga saat pembuangan bangsa Israel ke Babilonia selama 70 tahun.
Bangsa Israel membangun kembali Bait Allah pada tahun 515 SM di bawah pimpinan Zerubabel dari keturunan Daud. Bangunan suci ini lalu dihancurkan lagi oleh Anthiokus Epiphanes dari Yunani pada tahun 167 SM. Yudas Makabe mencoba merenovasinya pada tahun 164 SM, tapi kembali dirusak oleh Jenderal Pompey dari Roma pada tahun 63 SM dan oleh Crasus pada tahun 54 SM.
Akhirnya Raja Herodes Agung membangun kembali bahkan memperluas Bait Allah itu pada tahun 20 SM. Inilah yang dikenal sebagai Bait Allah yang kedua oleh orang Yahudi, dan menjadi yang terakhir. Bait Allah inilah yang berdiri saat Yesus hidup dan berkarya.
Dalam Injil dikisahkan, Yesus masuk ke Bait Allah dan marah melihat rumah Tuhan ini jadi area perdagangan dan tentu saja penipuan. Mengapa demikian? Karena di situ diperdagangkan hewan kurban untuk orang-orang yang datang berziarah dari tempat yang jauh. Tentu itu dijual dengan berlipat-lipat, bahkan sampai 20 kali lipat. Di situ juga ada tempat penukaran uang Romawi ke mata uang Yahudi, karena yang diterima untuk pembayaran pajak Bait Allah adalah mata uang Yahudi. Juga dengan harga yang sangat merugikan peziarah, terutama orang miskin.
Melihat itu semua Yesus marah, mengusir para pedagang dan menjungkirbalikkan meja dagangan mereka. Uang mereka dihamburkan.
Kemarahan Yesus ini tentu bukan sekadar kemarahan melihat kekacauan dalam rumah ibadat. Kemarahan Yesus mempunyai makna simbolis yang dalam.
Pertama, Yesus menunjukkan otoritasnya sebagai Anak Allah yang berkuasa penuh untuk menghentikan praktik-praktik kotor di Bait Allah, rumah yang diyakini-Nya sebagai tempat Bapa-Nya: “Jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” (Yoh 2,16 kutipan Zak 14,21). Tanpa keyakinan ini tak mungkin Dia memiliki keberanian sedemikian rupa.
Kedua, Yesus melakukan tindakan profetis. Dengan tindakan ini Yesus menegaskan status dan nasib Bait Allah di masa mendatang di mana Dia sebagai Mesias menggantikan fungsi dan peran Bait Allah: menjadi mediator perjumpaan Allah dan manusia. Pernyataan-Nya yang bernada menantang adalah sebuah nubuat atas Bait Allah sekaligus diri-Nya: “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” (Yoh 2,19).
Cinta akan rumah Allah, yang adalah Bapa kita, menginspirasi kita untuk melakukan semua tindakan pelayanan dalam Gereja secara tulus. Gereja bukanlah tempat orang berhitung untung-rugi atau upah-balasan. Rumah Tuhan adalah rumah perjumpaan orang yang hendak bersama-sama berjumpa dengan Allah. Dalam cinta dan kerendahan hati.
Perjumpaan dengan Allah terjadi dalam Yesus yang adalah Pengantara kita. Dia sudah menggantikan peran Bait Allah versi Yahudi. Dia menjadi Bait Allah yang hidup. Sebagaimana Bait Allah adalah rumah ibadah dan pengorbanan sekaligus simbol agama Yahudi, maka Yesus bagi orang Kristen adalah simbol identitas sekaligus “rumah ibadah”. Orang Kristen bersatu dalam Yesus.
Seorang anak kecil usia 3 tahun pertama kali dibawa ke gereja pada hari Minggu. Selesai misa, Pastor datang mendekati anak ini bersama orangtua, menyalami mereka sambil tersenyum dan bertanya pada anak kecil, “Apakah senang dengan misanya?”. Anak itu menjawab, “Aku suka musiknya. Tapi iklannya terlalu lama”. Yang dimaksudkannya adalah liturgi lain-lainnya.
Sala sehat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Weetebula, Sumba, NTT