CINTA UNTUK ORANG SAKIT
Oleh Romo Albertus Herwanta, O. Carm
Memahami orang sakit dan berbela rasa dengan mereka merupakan tantangan tersendiri bagi sebagian orang. Mereka yang berkarya di bidang kesehatan seperti dokter, perawat dan asisten perawat pun belum tentu otomatis bisa berempati dan bersimpati terhadap pasien.
Untuk melayani dan menghadapi pasien diperlukan “patience” dan “passion” yang kuat. Hanya orang yang benar terpanggil dan terlatih dapat menghadapi orang sakit dengan penuh kasih dan kesabaran. Itu lebih dari pada sekadar melakukan profesi, tugas atau pekerjaan. Pasien amat mudah merasakan dan membedakan layanan yang tulus dan penuh kasih dari yang tanpa itu.
Sang Guru Kehidupan menghadapi seorang ibu yang datang memohon kepada-Nya supaya anak perempuannya dibebaskan dari kuasa roh jahat. Setelah menguji iman ibu itu, Sang Guru pun mengabulkan permintaannya.
“Karena kata-katamu itu, pulanglah, sebab setan itu sudah keluar dari anakmu” (Mrk 7: 29). Sebelumnya, ibu itu mengatakan bahwa anjing-anjing memakan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak (Mrk 7: 28) ketika Sang Guru berkata kepadanya “tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (Mrk 7: 27).
Allah datang ke dunia untuk merasakan penderitaan dan penyakit yang ditanggung manusia. Bahkan lebih dari itu, menderita sengsara dan wafat di kayu salib. Itulah simpati dan empati terkuat dan tertinggi yang pernah ada di dunia ini.
Persatuannya dengan manusia itu menjadi kekuatan, motivasi dan inspirasi bagi semua orang yang ingin berempati dan bersimpati dengan orang sakit. Para penderita sakit pun dapat menyatukan penderitaan mereka dengan penderitaan Sang Guru Kehidupan agar dijadikan bagian dari karya penyelamatan-Nya.
Di tengah pandemi yang terus memakan korban meninggal ini, orang diajak untuk bersimpati dan berempati. Cukup dengan menaati protokol kesehatan demi diri sendiri dan sesama. Tidak perlu berpolitik dan berpolemik soal pandemi yang penyebarannya mesti dicegah dan diakhiri ini.
Banyak hal bisa dijadikan komoditas politik. Tetapi membuat orang sakit sebagai komoditas politik sesungguhnya menunjukkan bahwa pelakunya adalah “orang sakit”.
Shek O HK, 11 Februari 2021 pada Hari Orang Sakit Sedunia