Kata Kardinal dalam Natal Nasional 2020
Perayaan Natal Nasional 2020 dilakukan di Gereja Katedral Jakarta pada 27/12/20 malam. Ketua KWI Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo menyampaikan khotbah dan Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mendaraskan Doa Syafaat.
Natal nasional kali ini dimeriahkan dengan lagu-lagu dan tarian yang sangat kaya nilai atau nuansa etnis. Paduan suara berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Dalam khotbahnya Kardinal Suharyo yang juga Uskup Agung Jakarta mengatakan bahwa pelaksanaan Natal tahun ini dalam suasana memprihatinkan karena wabah virus korona yang mengguncang segala sendi kehidupan kita.
Kita semua kata Kardinal, merasakan bahkan mengalami akibat dari Covid-19. “Kondisi ini diperparah dengan maraknya ujaran kebencian, kebohongan publik dan keserakahan yang terungkap dalam berbagai bentuknya yang sangat buruk akibatnya bagi kehidupan bersama kita,” ungkap pria asal Bantul, Yogyakarta ini.
Ini semua menurutnya merupakan tanda yang sangat jelas bahwa paham dan penghayatan kehidupan keagamaan dan keberimananan masih dangkal. “Ketaatan pada hukum lemah dan rasa kebangsaan dan watak mulia bangsa kita semakin tampak tergerus. Dengan mudah kita kecil hati akibat beratnya kehidupan yang harus kita jalani.”
Dalam keadaan seperti ini sambung Kardinal, khususnya pada Hari Raya Natal ini kita diajak untuk terus berusaha mencari inspirasi dan penguatan iman. Dalam rangka itu, KWI dan PGI menawarkan tema Natal “Dan Mereka akan Menamakan Dia Immanuel”. “Melalui tema ini kita diajak untuk menyambut Natal dengan keyakinan iman yang kuat. Bahwa dalam keadaan apa pun, Tuhan menyertai kita hari demi hari,” tambah pakar Kitab Suci Perjanjian Baru ini.
Uskup Suharyo memberikan ilustrasi menyangkut kesetiaan dan solidaritas dengan menceritakan kisah burung berkepala dua di Candi mendut. Uskup menceritakan bahwa kepala burung bagian atas selalu makan sendiri makanan yang enak. Kepala burung di bawah meminta yang enak juga, tapi dijawab kepala burung di atas bahwa yang dia makan juga untuk kepala yang di bawah karena mereka satu badan. Setiap kali mengatakan hal yang sama, kepala yang di bawah juga mendapatkan jawaban yang sama. Akhirnya, burung yang di bawah marah bunuh diri, maka burung berkepala dua itu mati. “Pesan kisa ini sangat dahsyat. Tidak hanya untuk direfleksikan, tapi dilakukan,” kata anggota Dewan Kepausan untuk Dialog antar Agama ini.